I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 29 Juli 2008

Sistem Mesin Uang Otomatis ( S M U O )


Manfaat apa yang akan anda peroleh setelah
memiliki Paket Informasi SMUO?

Saya akan pandu anda dengan 3 langkah pembangun bisnis di Internet, antara lain:

  • Langkah 1
    Bagaimana menciptakan produk, bahan baku penghasilan anda.
    Sekali lagi, tidak peduli bagaimana pengetahuan anda saat ini saya jamin anda bisa menciptakan produk dengan mudah.

  • Langkah 2
    Bagaimana membangun website otomatis pencetak uang.

    Tidak peduli seberapa dalam kepandaian teknis anda dalam merancang website saya jamin anda bisa memiliki website dengan sistem interaktif di dalamnya.

  • Langkah 3
    Bagaimana menarik sebanyak mungkin pengunjung ke website anda!
    Tidak peduli seberapa banyak pengalaman anda dalam berpromosi di internet, saya jamin anda bisa menghasilkan sebanyak mungkin pengunjung untuk membeli produk anda.

Ya... cukup 3 langkah itu saja untuk meraih penghasilan melimpah dari internet. Semua rahasia kesuksesan bisnis di internet, beserta informasi dan peralatan yang dibutuhkan akan anda temukan di sini! Tidak peduli bagaimana latar belakang pendidikan anda saat ini, selama anda bisa mengoperasikan komputer dan internet secara sederhana, maka saya jamin anda bisa menjalankan metode SMUO dengan mudah.

Jumat, 18 Juli 2008

NEGERI SAMPAH

Sebuah penelitian oleh Swiss Federal Institute of Aquatic Sciences di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menghasilkan kesimpulan yang mengerikan. Menurut penelitian itu kawasan perairan pantai timur Sumatra adalah wilayah di Asia Tenggara yang paling beresiko terkontaminasai arsenik.

Bila melampaui ambang batas, arsenik bisa mematikan. Dan, menurut penelitian itu, bentangan wilayah seluas 100.000 hektare di sepanjang perairan pantai timur Sumatra berpotensi terkontaminasi arsenik diatas ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.

Penyebabnya antara lain, penambangan batu-batuan yang meluas dikawasan itu; sumur-sumur penduduk yang digali sejak 1970-an dan 1980-an, serta tingginya pencemaran di Selat Malaka. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat pemakaian pestisida yang meluas dan lama di Indinesia.

Hasil penelitian itu sesungguhnya meneguhkan kembali untuk kesekian kali bahwa Indonesia adalah negara yang sangat lalai dalam soal pengendalian lingkungan. Pencemaran air dan laut serta lingkungan terjadi didepan mata dan bahkan didukung oleh kebijakan pemerintah.

Contoh yang paling aktual dewasa ini adalah bagaimana sejumlah anggota DPR dijebloskan ke bui dalam kasus korupsi pengalihan lahan hutan lindung.

Sayangnya, mereka masuk bui tidak karena melanggar ketentuan konservasi lingkungan, tetapi lebih disebabkan korupsi. Andaikata tidak terjadi korupsi dan suap, pengalihan hutan lindung dianggap tidak melanggar apa-apa.

Salah satu perusakan lingkungan yang didukung negara adalah izin penambangan di kawasan hutan lindung. Seperti diketahui, arsenik yang meningkat kadarnya disebabkan juga oleh pembukaan perut bumi yang terlalu luas, dalam, dan berkesinambungan. Dan lebih celaka lagi kalangan elite berperan memuluskan cara menjadikan laut Indonesia sebagai tempat sampah.

Masih segar dalam ingatan bagaimana para pengusaha menjadikan sampah berbahaya dari negara lain sebagai bisnis. Dengan dalih mengimpor pupuk, mereka menjadi agen pengangkut limbah berbahaya untuk dibuang ke laut-laut Indonesia yang sangat tidak terjaga.

Pengerukan pasir, termasuk pasir timah dari kawasan Bangka dan Belitung yang sempat dilarang, kini rupanya kini akan dibuka lagi perizinannya. Itu sekali lagi memperlihatkan dalam soal lingkungan Indonesia tidak memiliki komitmen kuat. Indonesia selalu tergoda untuk mengorbankan lingkungannya demi keuntungan komersial.

Kontaminasi arsenik yang mengancam jutaan penduduk di sepanjang pantai timur Sumatra adalah puncak dari gunung es yang amat membahayakan. Pemerintah, termasuk pemerintah daerah, seperti biasa, tidak terbelalak oleh ancaman yang sangat serius itu. Dan seperti biasa, reaksi terhadap ancaman lingkungan selalu dijawab dengan kalimat klise : “Kami belum memperoleh laporan.” Kerusakan lingkungan karena kesengajaan, kealpaan, dan ketidak tahuan merebak didepan mata dan disetiap aspek kehidupan. Indonesia belum memperlihatkan komitmen yang sungguh-sungguh terhadap kelestarian lingkungan. Itu fakta yang mengganggu sekaligus memalukan. Memalukan inilah tingkat peradaban kita yang bangga dan tidak merasa terganggu sebagai tempat pembuangan sampah global.

Kamis, 10 Juli 2008

Mencermati Konversi Hutan Alam Menjadi Kebun Kelapa Sawit

Konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan terus berlanjut dengan laju yang sangat cepat. Setiap menitnya hutan alam seluas enam kali lapangan sepak bola rusak atau berubah menjadi peruntukan lain. Bank Dunia menaksir bahwa hutan alam dataran rendah Sumatera habis pada tahun 2005 dan menyusul Kalimantan pada tahun 2010. Data terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia sudah mencapai 2,83 juta ha per tahun (Dephut, 2005). Tingginya konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan lahan tersebut diyakini menjadi penyebab utama tingginya intensitas dan frekuensi bencana banjir dan tanah longsor sebagaimana kini banyak terjadi di berbagai wilayah di bumi pertiwi.

Disadari bahwa konversi hutan alam tidak selalu berdampak buruk, bahkan tidak sedikit kisah sukses konversi hutan menjadi tata guna lahan yang lebih produktif dan lestari. Konversi hutan alam menjadi lahan sawah, perkebunan teh, karet dan berbagai bentuk wana-tani, termasuk pekebunan kelapa sawit di Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah membuktikan bahwa konversi hutan alam tidak selalu menunjukkan wajah yang kurang ramah lingkungan. Namun juga tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak kasus kerusakan lingkungan yang begitu dasyat sebagai dampak konversi hutan alam. Kegagalan konversi 1 juta ha hutan alam gambut menjadi lahan sawah di Propinsi Kalimantan Tengah menjadi pelajaran penting bagaimana konversi hutan alam tidak dapat dilakukan secara gegabah.

Indonesia kini dikenal sebagai penghasil dan pengekspor minyak sawit (Eleais quinensis Jack) kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Untuk mendukung pengembangan industri sawit, Departemen Pertanian tahun 2006 telah menyiapkan anggaran Rp380 miliar. Pengembangan itu berkaitan juga dengan pencetakan energy farming, khususnya biodisel dari minyak sawit. Bahkan, pemerintah baru-baru ini berencana untuk mencetak kebun kelapa sawit seluas dua juta hektar di wilayah perbatasan Kalimantan. Memperhatikan tingginya target perluasan perkebunan sawit, tidak menutup kemungkinan bahwa hutan-hutan alam yang masih tersisa saat ini menjadi sasaran konversi. Di wilayah lain, termasuk di Propinsi Sulawesi Tenggara, konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit juga sedang marak terjadi, sebagaimana di Kabupaten Konawe dan Kolaka dan kemungkinan akan pula terjadi di Kabupaten Buton.

Dengan semakin tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah yang disebabkan oleh kerusakan hutan alam, maka konversi hutan alam skala besar menjadi perkebunan kelapa sawit sudah saatnya untuk dicermati. Tulisan ini mencoba untuk mengulas dampak tata air (banjir, erosi, sedimentasi, tanah longsor dan ketersediaan air tanah) konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit.

Dampak konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit

Indonesia yang beriklim tropika basah memiliki intensitas hujan yang sangat tinggi. Kondisi curah hujan seperti ini, apabila tidak diimbangi dengan penata-kelolaan lahan yang baik terbukti berdampak pada kerusakan lahan dan berbagai bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Sebenarnya alam telah diciptakan dengan penuh harmoni dan keseimbangan, tingginya intensitas hujan di wilayah tropis, telah diimbangi dengan penutupan hutan alam yang begitu luas, kondisi ini telah membuat bumi nusantara dikenal sebagai bumi yang subur, ijo-royo-royo, gemah-ripah loh jinawi. Sayangnya, hutan alam yang berperan sebagai gudang sumberdaya genetik dan pendukung ekosistem kehidupan ini sering menjadi korban kepentingan pragmatis jangka pendek, termasuk diantaranya adalah konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, di lain pihak masih banyak tersedia lahan lain selain hutan alam, termasuk diantaranya adalah lahan kritis yang kini telah mencapai 30 juta ha.

Hutan alam, dibandingkan dengan penutupan lahan apapun, memiliki berbagai kelebihan dalam meredam tingginya intensitas hujan dan mengendalikan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Hutan alam, khususnya yang berada di pegunungan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur tata air (regulate water), namun juga penghasil air (produce water). Hutan alam memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah, khususnya dalam menyimpan air, hutan alam memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis.

Hal ini disebabkan: (1) Pepohonan pada hutan alam menghasilkan serasah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan bahan organik lantai hutan, sedemikian rupa sehingga lantai hutan memiliki kapasitas peresapan air (infiltrasi) yang jauh lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan non-hutan. Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktifitas biologi tanah, sedangkan siklus hidup/pergantian perakaran pohon (tree root turnover) yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama, membuat tanah hutan memiliki banyak pori-pori berukuran besar (macroporosity), sehingga tanah hutan memiliki laju penyerapan air/pengisian air tanah (perkolasi) yang jauh lebih tinggi; (2) Stratifikasi hutan alam (bervariasinya umur dan ketinggian tajuk hutan), tingginya serasah dan tumbuhan bawah pada hutan alam memberikan penutupan lahan secara ganda, sehingga berfungsi efektif untuk mengendalikan erosivitas hujan (daya rusak hujan), laju aliran permukaan dan erosi; (3) Dari sisi bentang lahan (landscape), hutan memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis, dalam hutan alam sangat sedikit sekali ditemukan jalan-jalan setapak, tidak ada saluran irigasi, apalagi jalan berukuran besar yang diperkeras sehingga pada saat hujan besar berperan sebagai saluran drainase. Biomasa hutan yang tidak beraturan juga berperan sebagal filter pergerakan air dan sedimen. Di dalam hutan alam juga tidak dilakukan pengolahan tanah yang membuat lahan lebih peka terhadap erosi. Hutan dalam kondisi yang tidak terganggu juga lebih tahan terhadap kekeringan sehingga tidak mudah terbakar.

Pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi hutan alam, selain merusak habitat hutan alam yang berarti menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harga dan manfaatnya, juga akan merubah landscape hutan alam secara total. Proses ini apabila tidak dilakukan dengan baik (dan biasanya memang demikian) akan berdampak pada kerusakan seluruh ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada dibawahnya. Dampaknya, antara lain adalah meningkatnya aliran permukaan (surface runoff), tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Kondisi ini semakin parah, apabila pembersihan lahan (setelah kayunya ditebang) dilakukan dengan cara pembakaran.

Dalam setiap perkebunan yang dikelola secara intensif, rumput dan tumbuhan bawah secara menerus akan dibersihkan, karena akan berperan sebagai gulma tanaman pokok. Dilain pihak, rumput dan tumbuhan bawah ini justru berperan sangat penting untuk mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan. Keberadaan pepohonan yang tanpa diimbangi oleh pembentukan serasah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan. Mengingat energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari enerji kinetik semula, disamping itu butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leaf-drip) yang lebih besar, sebingga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan.

Pembangunan perkebunan memerlukan pembangunan jalan, dari jalan utama hingga jalan inspeksi, serta pembangunan infrastruktur (perkantoran, perumahan), termasuk saluran drainase. Kondisi ini apabila tidak dilakukan dengan baik (lagi-lagi biasanya memang demikian) akan berdampak pada semakin cepatnya air hujan mengalir menuju ke hilir. Implikasinya, peresapan air menjadi terbatas dan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor akan meningkat.

Di lain pihak, pohon kelapa sawit sebagai pohon yang cepat tumbuh (fast growing species) dikenal sebagai pohon yang rakus air, artinya pohon ini memiliki laju evapotranspirasi (penguap-keringatan) yang tinggi. Setiap pohon sawit memerlukan 20 – 30 liter air setiap harinya. Dengan demikian konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketersediaan air khususnya di musim kemarau. Sumber-sumber air di sekitar kebun kelapa sawit terancam lenyap, seiring dengan pertambahan luas dan bertambahnya umur pohon kelapa sawit.

Penutup

Memperhatikan dampak lingkungan konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit sebagaimana tergambar di atas, kemudian memperhatikan banyaknya kasus penebangan hutan alam dengan kedok pembukaan kebun kelapa sawit sebagaimana dilaporkan terjadi di Kabupaten Konawe (Kendari Pos, 21 Februari 2006), sudah saatnya pemerintah daerah perlu ekstra hati-hati dalam menerbitkan ijin konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.599/Menhut-VII/2005 tertanggal 12 Oktober 2005 tentang Penghentian/Penangguhan Pelepasan Kawasan harus menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan.

Memperhatikan melimpahnya sumberdaya lahan dan semakin menyusut dan langkanya hutan alam, pembangunan perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak lagi dilakukan dengan cara mengkonversi hutan alam. Masih tersedia sumberdaya lahan yang maha luas dan tidak produktif menunggu sentuhan investasi. Sudah saatnya pembangunan tidak sekedar mengejar pertumbuhan, namun harus menjunjung tinggi kelestarian lingkungan. Investasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sudah banyak terbukti merusak lingkungan, bahkan merusak kehidupan. Jangan biarkan darah dan airmata serta dana terbuang percuma karena kesalahan pengambilan keputusan!