STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERTANIAN
LAHAN KERING BERWAWASAN LINGKUNGAN
DI NUSA TENGGARA BARAT
BAB I
PENDAHULUAN
Pengembangan pertanian lahan kering merupakan alternatif yang sangat penting untuk mengalihkan paradigma lahan sawah sebagai tulang punggung pertanian dan sebagai pemenuhan utama produksi pangan nasional. Hal ini sangat beralasan karena lahan-lahan persawahan di Indonesia umumnya telah banyak mengalami alih fungsi menjadi lahan nirpertanian. Tantangan lain dari lahan pertanian sawah adalah kemunduran produktivitas karena intervensi manusia yang sangat intensif. Dengan demikian pertanian lahan kering diharapkan mampu memiliki andil yang signifikan terhadap pengembangan potensi wilayah di kawasan timur Indonesia.
Meskipun potensi pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan pertanian sangat besar, perlu dicermati pula bahwa ciri khas agroekosistem lahan kering relatif rentan terhadap degradasi sehingga dalam pengelolaan jangka panjang harus lebih berhati-hati dengan tetap memperhatikan aspek kelesatarian dan kesinambungan produktivitas lahan (dryland sustainable agriculture). Tidak sekedar masalah biofisik lahan yang lemah, lahan kering juga memiliki masalah social-ekonomi yang cukup kompleks. Pendekatan dalam pengelolaan pertanian lahan kering tampaknya harus berorientasi pada pendekatan agroekosistem wilayah dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya spesifik daerah sebagai komponen pendekatan wilayah.
Manipulasi terhadap biofisik lahan untuk meningkatkan ketangguhan agroekosistem: seperti pembuatan tampungan air permukaan (embung/dam pemanen aliran permukaan) dipadukan dengan paket teknologi budidaya berwawasan lingkungan menjadi esensial untuk pengelolaan pertanian lahan berkelanjutan. Teknologi budidaya lahan kering harus bersifat adaptif untuk suatu wilayah dalam arti paket teknologi tersebut berwawasan lingkungan dan cocok untuk kondisi agroekosistem wilayah, secara teknis dan social dapat diterapkan oleh masyarakat setempat serta berimplikasi ekonomi dalam keberlanjutan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Makalah ini akan mencoba mendiskusikan beberapa gatra penting yang terkait dengan strategi pengelolaan pertanian di lahan kering dengan pendekatan kewilayahan. Managemen praktis dari pendekatan ini merupakan iptek yang berwawasan lingkungan dengan penerapan paket teknologi budidaya tepat guna, termasuk didalamnya upaya konservasi air guna pengembangan pertanian lahan kering jangka panjang.
BAB II
PROFIL DAN PERMASALAHAN LAHAN KERING NTB
1. Profil Lahan Kering di Nusa Tenggara Barat
Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki lahan seluas 2.015.315 Ha dengan rincian seperempat bagian tersebar di Pulau Lombok (473.867 Ha) dan tiga perempat bagian tersebar di Pulau Sumbawa (1.541.448 Ha) dan paling kurang 60% dari luasan tersebut berupa kawasan lahan kering (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Lahan (Ha) Berdasarkan Jenis Penggunaannya di NTB
Jenis Penggunaan | Luas Lahan (Ha) | Persen (%) |
1 | 2 | 3 |
Pemukiman | 26.066,352 | 1,3 |
Sawah : a. Irigasi b. Tadah hujan c. Tegalan d. Ladang | 94.741,477 131.981,840 149.555,652 12.238,500 | 4,7 6,5 7,4 0,6 |
Kebun Perkebunan | 55.250,137 46.090,578 | 2,7 2,3 |
Hutan Lebat Hutan Sejenis Belukar | 832.758,270 65.255,270 364.890,866 | 41,3 3,2 18,1 |
Danau Rawa Embung/Waduk | 1.755 12 4.321,940 | 0,09 0,0006 0,2 |
Lain-lain | 28.693,073 | 1,4 |
JUMLAH | 2.015.315 | 100 |
Sumber : Bappeda NTB, 2000.
Biro Pusat Statistik NTB (1997) melaporkan bahwa luasan lahan kering yang potensial untuk dikembangkan mencapai sekitar 162.033,313 Ha dengan sebaran 66% di Sumbawa dan 34% di Pulau Lombok. Biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat memiliki karakteristik khas yakni fisiografi lahan yang sangat beragam dari berombak, bergelombang hingga berbukit atau berlereng dengan jenis tanah yang didominasi oleh tiga ordo yakni Entisols, Inceptisols dan Vertisols. Secara inherent kesuburan tanah lahan kering di NTB sangat rendah dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah (Ma`shum, 1990), agregat tanah yang kurang mantap (Tarudi, dkk., 1989) terutama pada lahan-lahan miring/berbukit dengan tipe tanah Entisols dan Inceptisols, peka terhadap fenomena kerusakan lahan terutama akibat erosi, kandungan hara utama (N, P, dan K) yang relatif rendah (Ma`shum, Lolita, dan Sukartono, 2000). Intergrasi dari sifat inherent tanah tersebut dan adanya keterbatasan ketersedisaan sumberdaya air sebagai salah satu faktor utama pertumbuhan tanaman membawa konsekwensi rendahnya produktivitas lahan.
Lahan kering NTB memilki iklim kering yaitu: tipe iklim D3 (3-4 bulan basah dan 4-6 bulan kering), tipe iklim D4 (3-4 bulan basah dan >6 bulan kering), tipe iklim E3 (<3> 6 bulan kering) (Oldeman, 1981). Distribusi dan intensitas curah hujan di wilayah lahan kering NTB tidak merata dan tidak menentu (erratic) sehingga kerap kali kegagalan panen terjadi sebagai akibat keterbatasan ketersediaan air. Surplus air hanya terjadi pada bulan-bulan basah (Desember, Januari/Februari) dan selebihnya merupakan bulan-bulan defisit air (Gambar 1). Informasi keadaan iklim bulanan wilayah lahan kering lain di NTB disajikan pada Tabel 2. Keadaan curah hujan umumnya berlangsung dengan durasi yang pendek, disertai intensitas dan distribusi yang “erratic” serta sulit ditaksir (unpredictabel), sehingga seringkali menyebabkan kegagalan panen.
Table 2. Data Iklim Rata-rata Bulanan Stasiun Kopang, Lombok Tengah
Year 98 | Jumlah dan Rata-rata | Kelembaban (%) | Suhu (oC) | Hujan harian (mm) | Evaporasi (mm) | Kec. Angin (km/jam) | |
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | |
Jan | Jumlah | 3037,00 | 867,50 | 222,40 | 134,60 | 1543,20 | |
| Rata-rata | 97,97 | 27,98 | 7,17 | 4,34 | 49,78 | |
Feb | Jumlah | 2738,00 | 787,00 | 433,10 | 109,30 | 610,80 | |
| Rata-rata | 97,79 | 28,11 | 15,47 | 4,75 | 21,81 | |
Mar | Jumlah | 3023,00 | 877,10 | 577,10 | 109,10 | 734,70 | |
| Rata-rata | 97,52 | 28,29 | 18,62 | 3,76 | 23,70 | |
Apr | Jumlah | 2932,00 | 862,50 | 139,50 | 100,40 | 852,40 | |
| Rata-rata | 97,73 | 28,75 | 4,65 | 3,35 | 28,41 | |
Mei | Jumlah | 3029,00 | 890,00 | 46,60 | 75,10 | 822,20 | |
| Rata-rata | 97,71 | 28,71 | 1,50 | 2,42 | 26,52 | |
Jun | Jumlah | 2930,00 | 836,60 | 62,80 | 68,30 | 703,40 | |
| Rata-rata | 97,67 | 27,89 | 2,09 | 2,28 | 23,45 | |
Jul | Jumlah | 3026,00 | 854,20 | 75,90 | 66,10 | 888,30 | |
| Rata-rata | 97,61 | 27,55 | 2,45 | 2,13 | 28,65 | |
Aug | Jumlah | 3030.00 | 844,00 | 42,30 | 131,80 | 1841,40 | |
| Rata-rata | 97,74 | 27,23 | 1,36 | 4,25 | 59,40 | |
Sep | Jumlah | 2937,00 | 821,50 | 312,50 | 137,00 | 1253,00 | |
| Rata-rata | 97,90 | 27,38 | 10,42 | 4,57 | 41,77 | |
Okt | Jumlah | 3034,00 | 878,00 | 208,30 | 123,30 | 985,50 | |
| Rata-rata | 97,87 | 28,32 | 6,72 | 3,98 | 31,79 | |
Nov | Jumlan | 2934,00 | 837,70 | 235,80 | 102,10 | 1122,10 | |
| Rata-rata | 97,80 | 27,92 | 7,86 | 3,65 | 37,40 | |
Des | Jumlah | 3027,00 | 832,50 | 204,00 | 121,20 | 2063,70 | |
| Rata-rata | 97,65 | 26,85 | 6,58 | 4,04 | 66,57 | |
Catchment area : Renggung |
| ||||||
Altitude : 8o 37' 17" LS/116o 21' 50" |
| ||||||
Latitude : 352 m |
| ||||||
Sumber : Stasiun Kopang N0. 521005
Gambar 1. Kurva neraca air wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur(Data sekunder diolah)
Keterngan: P-Curahhujan; PE-Evapotranspirasi potensial; AE- Evapotranspirasi actual; D- Defisit; S- Surplus
2. Permasalahan Agroekosistem dan Sosial Ekonomi Masyarakat
Keadaan biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat umumnya diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis dengan petunjuk relatif rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan serta produktivitas tanah yang relatif rendah, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Keterbatasan air tahunan merupakan kendala yang membatasi pola pertanaman yang ada di daerah lahan kering. Fluktuasi lengas tanah pada sistem pertanaman lahan kering sangat tergantung pada pasokan air hujan (Sukartono, dkk., 2001). Degradasi lahan yang muncul adalah erosi pada lahan perbukitan dan atau lahan miring, makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak stabil), aliran permukaan yang terjadi musim hujan lebih dari 70% hilang menuju ke laut (Yasin , 2000), menurunnya kualitas DAS seperti DAS Dodokan dan DAS Jelateng di Lombok sebagai intensifnya intervensi manusia di lahan kering bagian tengah dan hulu DAS (Rapat Teknis Bapedalda, 2000). Pengelolaan sistem pertanaman (cropping system) dan pengelolaan tanah dan air dalam arti luas di tingkat petani masih belum memadai baik dari aspek kelestarian sumberdaya alam (berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis). Hal ini sangat terkait dengan penguasaan petani di wilayah pedesaan lahan kering terhadap teknologi budidaya dan konservasi air yang masih jauh dari memadai. Implikasi keadaan tersebut tercermin dari rata-rata pendapatan petani pedesaan di wilayah lahan kering NTB masih tergolong sangat rendah.
Lebih dari sekedar persoalan alami biofisik lahan, masyarakat pedesaan di lahan kering NTB umumnya merupakan masyarakat miskin baik secara ekonomi maupun tingkat pendidikan. Infrastruktur ekonomi di wilayah pedesaan lahan kering masih terbatas dibandingkan daerah-daerah pertanian intensif (lahan persawahan) sehingga aksesibilitas petani terhadap pasar umumnya relatif terbatas. Dengan berbagai permasalahan agroekosistem lahan kering seperti ini maka strategi pengelolaan pertanian lahan kering harus berorientasi pada peningkatan kualitas lahan dan produktuvitas tanah (kelestarian sumberdaya alam berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan petani (berwawasan agribisnis).
Dari segi kebijakan pemerintah, paradigma pengembangan pertanian lahan kering khususnya di Nusa Tenggara Barat maupun nasional baru mulai mendapatkan perhatian yang serius sejak krisis ekonomi melanda tanah air (1997/1998).
STRATEGI PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING BERWAWASAN LINGKUNGAN DI NUSA TENGGARA BARAT
Pengelolaan lahan kering di NTB sebagai lahan produktif merupakan salah satu alternatif yang prospektif mengingat potensi luas arealnya sangat besar dan potensi produktivitas lahannya masih sangat terbuka untuk ditingkatkan. Pengelolaan pertanian lahan kering sesungguhnya tidak mudah, karena sangat berkaitan dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik dari sumber daya lahannya dan/atau sumber daya manusianya. Karena itu dalam pencarian strategi pengelolaan yang tepat, dalam memfungsikan lahan kering sebagai lahan produktif diperlukan pendekatan holistik dengan mengenali secara seksama tipe agroekosistem lahan kering yang bersifat spesifik lokasi dengan tidak meninggalkan ciri-ciri alamiahnya serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Beberapa aspek penting yang merupakan prasyarat terwujudnya sistem pengelolaan lahan kering tepat guna meliputi: (i) aspek biofisik; (ii) aspek ekonomi; (iii) aspek sosial budaya dan (iv) aspek kelembagaan yang ditunjang dengan kebijakan-kebijakan yang memadai. Keempat aspek tersebut secara bersama menentukan terwujudnya sistem pengelolaan yang tepat guna pada usaha tani lahan kering yang berkelanjutan dan berwawasan agribisnis.
1. Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek biofisik
Aspek biofisik pada suatu sistem pengelolaan pertanian lahan kering meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan serta peningkatan kualitas dan produktivitas lahan. Paket teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas lahan haruslah dapat memberikan kompensasi keterbatasan kemampuan alamiah lahan tersebut. Dalam hal ini teknologi yang sesuai adalah teknologi tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan, baik dilihat dari upaya mengeliminasi pengaruh erosi maupun faktor-faktor pembatas kesuburan tanah dan keterbatasan ketersediaan air.
Penerapan teknologi tersebut dapat berbeda antara wilayah tangkapan hujan (pluvial), wilayah konservasi air dan wilayah pengguna air.
Bagi wilayah tangkapan hujan, penerapan teknologinya ditujukan untuk:
(i) Memperbesar infiltrasi dan perkolasi untuk memperkaya air tanah dan debit sumber-sumber arteris.
(ii) Mempertinggi daya simpan air tanah melalui penghijauan dan reboisasi (Justika, dkk. 1997)
Pada wilayah konservasi air (freatik) difokuskan pada upaya berikut:
(i) Mencegah erosi lapisan tanah melalui penerapan sistem olah tanah konservasi, pemberian mulsa organik, pembuatan terassaring dan pertanaman menurut kontur, system budidaya tanaman lorong (Alley cropping).
(ii) Memperbesar daya tampungan air hujan dan air permukaan melalui pembuatan tandon air, bendungan dan embung. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, Sukartono, dan Soemeinaboedhy (2000) mengungkapkan bahwa hasil panenan air hujan di wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur (6m3 air/100m2 areal tangkapan) dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air paska musim hujan.
Sedangkan implimentasi teknologi di wilayah pengguna air diarahkan pada tindakan :
(i) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui pemilihan varietas komoditas tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan, pengembangan pola pertanaman campuran pangan - legum serta rotasi tanaman (Ma’shum, dkk, 2002)
(ii) Merawat kesuburan tanah melalui konsep pengelolaan pertanian organik yang ramah lingkungan dan sistem olah tanah konservasi. Teknologi budidaya yang memadukan konsep efisiensi pemanfaatan air dan perawatan kesuburan tanah di lahan kering telah banyak tersedia. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, dan Sukartono selama tiga tahun (1999-2002) di lahan kering Pringgabaya mengungkapkan bahwa pengaturan rotasi tanaman (Crop sequence) tumpang sari kedelai/jagung – komak dengan penerapan paket pemupukan kombinasi (anorganik + organik + hayati) mampu meningkatkan kualitas kesuburan tanah dan produktivitas lahan (Lampiran 1, 2, 3, dan 4)
2. Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek ekonomi
Tinjauan aspek ekonomi dalam kaitannya dengan pengembangan lahan kering sebagai lahan produktif meliputi: (i) manfaat finansial dan ekonomi bagi unit pelaku usaha, dan (ii) manfaat secara luas bagi pengembangan ekonomi wilayah. Untuk itu diperlukan analisis kelayakan usaha ditinjau dari sudut kepentingan pelaku usaha dan kelayakan dari sudut kepentingan sosial ekonomi secara keseluruhan. Salah satu contohnya adalah introduksi teknologi budidaya konservasif di lahan kering Pringgabaya melalui pengaturan pola tanam tumpang gilir legum- tanaman pangan disertai aplikasi kesimbangan pupuk anorganik-organik dan hayati dan pemanenan air hujan (Ma`shum, dkk., 2000-2002). Dengan demikian, strategi pengelolaan pertanian lahan kering tidak hanya sekedar berorientasi pada peningkatan produktivitas lahan tetapi harus merupakan strategi jangka panjang untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah/lingkungan (pelestarian sumber daya alam berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan petani (wawasan agribisnis). Kesinambungan pemanfaatan pertanian lahan kering sebagai sumber ekonomi wilayah perlu didukung oleh pembangunan infrastruktur untuk memperlancar aksesibilitas masyarakat terhadap pasar dan pusat-pusat perekonomian lainya.
3. Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek sosial-budaya
(i) Aspek sosial-budaya yang menjadi prasyarat penting dalam pengembangan lahan kering adalah peran aktif masyarakat. Terkait dengan aspek ini, strategi pengelolaan lahan kering yang seyoganya diterapkan harus mampu menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pertanian seperti. Dalam hal ini diperlukan pelibatan berbagai pihak, pemerintah, LSM, investor dan tokoh informal masyarakat sebagai dinamisator. Bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan SDM dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, ataupun penyampaian informasi lain yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pencapian tujuan dari pengembangan lahan kering, hendaknya kegiatan penyuluhan ìni, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian.
(ii) Pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian.
(iii) Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia di NTB untuk mendukung pengembangan kelembagaan.
(iv) Penataan keterkaitan sosial dan ekonomi antara masyarakat daerah hulu dan hilir, antara masyarakat perkotaan dan pedesaan.
(v) Penegakan hukum (law enforcement) yang mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan.
(vi) Pola pengembangan pertanian lahan kering seharusnya teragenda di dalam RENSTRA Pemerintah Daerah.
PENUTUP
Keberpalingan terhadap pengembangan pertanian lahan kering harus segera diwujudkan, seiring dengan pergeseran paradigma pengembangan pertanian intensif di lahan basah sebagai penopang utama kebutuhan pangan nasional. Mengingat rentannya lahan kering baik dari segi biofisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat, maka pengelolaan lahan kering yang tepat guna di Nusa Tenggara Barat harus berazas wawasan lingkungan, yaitu dengan pemahami secara paripurna sifat dan ciri agroekosistem wilayah serta karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat wilayah sasaran. Hal ini penting untuk menghantarkan capaian pengelolaan pertanian lahan kering yang tidak hanya sekedar meningkatkan kualitas biofisik lahan dan produktivitasnya (kesinambungan sumberdaya alam) tetapi juga harus berimplikasi terhadap kesinambungan peningkatan pendapatan dengan wawasan agribisnis dan didukung oleh pembangunan infrastruktur ekonomi. Masukan teknologi budidaya dan konservasi air, serta prioritas diversifikasi komoditi unggulan lahan kering harus sesuai dengan kondisi agroekosistem wilayah, dapat diterima oleh masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi pendapatan usaha tani. Pola pengembangan lahan kering secara terstruktur seyogyanya menjadi agenda RENSTRA Pemerintah Daerah. Koordinasi harmonis antara sektor pelaku pembangunan pertanian lahan kering dengan masyarakat petani dalam pembinaan SDM dan kelembagaan harus dikembangkan dengan tetap mengacu pada aspek pemberdayaan masyarakat.
Ke depan pengelolaan pertanian lahan kering di NTB sedapat mungkin juga dikembangkan sebagai salah satu asset wisata alam (Agro ecotourism) sehingga nilai tambah pertanian lahan kering dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Akhirnya semoga sekelumit konsep pemikiran ini tidak sekedar angan-angan belaka tetapi merupakan komitmen yang perlu segera diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Justika, S.B, dkk., 1997. Konsepsi dan Teknologi Konservasi Air pada Lahan Berlereng. Dalam Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian yang efisien. PERHIMPI
Ma`shum, M., 1990. Studi Tahana Bahan Organik Tanah di P. Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Pertanian UNRAM
Ma`shum, M., Mahrup, Sukartono, dan Lollita, E.S. (1994). Perilaku Hara Kalium Akibat Pemberian Pupuk Kandang pada Pertanaman Padi Gogo Lahan Kering Lombok Utara. Laporan Penelitian ARMP, Fakultas Pertanian UNRAM
Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Soemeinaboedhy, I.N., 2000. Teknik Pemanenan Aliran Permukaan di lahan Kering Pringgabaya Lombok Timur. Journa Agroteksos, Vol 11-3, 2000.
Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Kunto, K., 2002. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Kering untuk Pengembangan Budidaya Kedelai dan Jagung Melalui Pendekatan Biologi dan Pemanenan Air Hujan Menuju Pertanian Perkelanjutan. Laporan Penelitian RUT VIII.2. Tahun 2002.
Sukartono, Ma`shum, M., dan Lolita, E.S., 2001. Fluktuasi lengas tanah pada system pertanaman kedelai-jagung dengan menerapkan pupuk kombinasi (organic + anorganik + hayati) di lahan kering Pringgabaya Lombok Timur. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian . Mataram, 30-31 Oktober 2001.
Tarudi, H.M., Sukartono, Suwardji, dan Kusnarta, I.G.M., 1989. Kemantapan Agregat Tanah Lahan Kering di Pulau
Utomo, M., 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi sebagai Pilar Pertanian Berkelanjutan . Pemberdayaan Petani , Sebuah Agenda Penguatan Masyarakat Warga DPP HKTI.
Yasin, I., 2000. Aplikasi Prakiraan Curah Hujan Musiman untuk Menentukan Strategi Tanam dan Pengelolaan Sumberdaya Air di Pulau Lombok. Makalah pada Workshop: Capturing Benefit of Seasonal Climate Forcasting in Agricultural management. Mataram, 9 Maret 2000.