I made this widget at MyFlashFetish.com.

Minggu, 05 Juli 2009

MODEL PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PESISIR-PANTAI

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan Nasional hingga Pelita VI saat ini telah membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya alam semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman prioritas pemanfaatan sumberdaya alam dalam kerangka pengembangan wilayah yang meli­batkan segenap warga setempat. Permasalahan tersebut juga dihadapi oleh wilayah pedesaan pantai.

Wilayah pedesaan pantai sudah semenjak dulu merupakan pusat kegiatan ekonomi tradisional dan sekaligus menjadi pusat pemuki­man penduduk. Berbagai usahatani komoditi perikanan berkembang di pedesaan pantai ini dengan berbagai perma salahannya. Kegiatan ekonomi tradisional tersebut perkembangan nya relatif masih lambat dan produktivitasnya sangat tergantung pada kondisi alamiah yang bersifat musiman. Namun akhir-akhir ini kegiatan ekonomi tradisional tersebut nampak telah mulai berubah dengan adanya teknologi penangkapan ikan dengan perahu bermotor, kamar dingin, pabrik tepung ikan, jasa-jasa lainnya.

Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi dalam proses transformasi sektor ekonomi tersebut, maka diperlukan upaya khusus untuk mengembangkan sektor ekonomi tradisional yang melibatkan sebagian besar nelayan kecil yang masih miskin. Pemerintah telah melakukan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pantai melalui pengembangan usaha dan dukungan modal, namun belum mampu secara luas mendorong nelayan kecil untuk memanfaatkan peluang-peluang yang telah disediakan tersebut. Oleh karena itu diperlukan desain-desain khusus yang dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan pantai, terutama nelayan-nelayan kecil.

Pengelolaan sumberdaya pedesaan pantai senantiasa berkai­tan dengan potensinya. Oleh karena itu batasan pedesaan pantai dalam uraian ini adalah: (Muhammad dkk., 1992)

(a). Wilayah yang berbatasan dengan daerah pantai, penduduknya padat, sebagian besar mempunyai profesi sebagai nelayan dan pengolah ikan;

(b). Sumberdaya alam yang dikelola masyarakat tersebar di kawasan perairan pantai hingga laut lepas;

(c). Wilayah pedesaan pantai mempunyai sumberdaya per-airan dan perikanan pantai, juga mempunyai sumberdaya pertanian;

(d). Sistem perekonomian wilayah didominasi oleh sektor basis dengan kagiatan utama berupa penangkapan dan industri pengola­han, dimana produk-produknya, dipasarkan ke luar daerah.

Pada kondisi seperti di atas maka perkembangan masyarakat pede­saan pantai sangat dipengaruhi oleh adanya eksploitasi sumber­daya perairan pantai oleh manusia (nelayan) khususnya melalui usaha penangkapan ikan. Sebagian dari hasil tangkapan ini dipa­sarkan langsung sebagai komoditi "ikan segar" dan sebagian lainnya "diolah" dalam berbagai kegiatan industri pengolahan untuk memberikan nilai tambah. Akan tetapi pada kenyataannya hanya sebagian kecil dari nilai tambah ini yang dapat dinikmati oleh nelayan/pengolah ikan.


BAB II

SISTEM PEDESAAN PANTAI MAJU

Wilayah pedesaan pantai dipandang sebagai suatu sistem yang secara struktural terdiri atas lima komponen (sub-sistem) yang saling berinteraksi secara dinamis. Perilaku interaktif dari subsistem-subsistem ini bersifat dinamis dan menghasilkan output-output tertentu. Output inilah yang pada hakekatnya merupakan tujuan dan sasaran dari upaya-upaya pembinaan/pen­gembangan wilayah pedesaan pantai. Dua macam sasaran akhir dari upaya-upaya pembinaan ini adalah kesejahteraan nelayan dan kelestarian sumberdaya perairan pantai.

Sistem pedesaan pantai maju memiliki lima macam kom-ponen, yaitu: (1). Komponen sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan pantai; (2). Komponen Sumberdaya Manusia (Nelay­an); (3). Komponen Kelembagaan sosial pedesaan; (4). Komponen Perekonomian Pedesaan dan; (5). Komponen Sarana dan Prasarana Fisik. Perilaku komponen-komponen tersebut di atas, baik secara sendirian maupun interaksinya dengan komponen lain, hingga batas-batas tertentu dapat dikendal­ikan oleh manusia untuk mendapatkan output yang diinginkan. Upaya pengelolaan ini dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) dengan memanipulasi input- input pengelolaan, baik yang berupa input material, informasi, teknologi, moneter, maupun kebijakan; (2) dengan merekayasa kelembagaan yang mengatur interaksi antar komponen sehingga perilakunya dapat lebih baik memanfaatkan input yang ada dan; (3) kombinasi antara (1) dan (2) Dalam rangka untuk mewu­judkan sistem pedesaan pantai maju, tampaknya cara kombinasi (1) dan (2) tersebut lebih dapat diandalkan.

Suatu model keterkaitan antar komponen struktural dari Sistem Pedesaan Pantai Maju dapat disusun berdasarkan pada pola pembi­naan wilayah pedesaan pantai yang melibatkan manipulasi input pengelolaan dan rekayasa kelembagaan.

(1). Sub-sistem Sumberdaya Perairan Pantai dan

Lingkungan Hidup Pedesaan

Dalam sistem wilayah pedesaan pantai, sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai sumber input bagi sub-sistem per-ekonomian, produsen jasa amenitas bagi manusia, dan sebagai tempat pembuangan limbah.

(2). Sub-sistem Perkonomian Wilayah Pedesaan

Di wilayah pedesaan pantai, kegiatan ekonomi di sektor basis (meng hasilkan produk untuk pasar diluar daerah) sangat dominan, berupa komodi­ti primer dan sekunder. Ciri penting kegiatan ekonomi di pedesaan pantai iniadalah (a) kegiatan penangkapan memerlukan perlengkapan yang relatif mahal; (b) operasi penangkapan memerlukan tenaga banyak dan kooperatif dan; (c) hasil tangkapan harus dipasarkan ke luar daerah dalam bentuk segar atau olahan.

(3). Sub-sistem Kelembagaan Sosial

Armada penangkapan ikan ditandai oleh eratnya hubungan antara nelayan pendega, juragan laut, juragan darat, pengolah ikan dan pedagang ikan. Kelembagaan operasional penang kapan tersebut berkaitan erat dengan kelembagaan bagi hasil yang berlaku, yang selanjutnya akan menentukan distri­busi pendapatan dalam masyarakat pedesaan pantai. Hingga batas tertentu, kelembagaan seperti di atas bersama kelembagaan lainnya akan menentukan pel­uang transformasi struktural di wilayah pedesaan pantai.

(4). Sub-sistem Sarana dan Prasarana Fisik

Sub-sistem ini secara langsung berkaitan dengan sub-sistem kelemba­gaan sosial. Secara fungsional sub-sistem ini dibedakan sarana fisik penunjang produksi dan aktivitas sosial.

(5). Sub-sistem Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia di wilayah pedesaan pantai menjadi subyek/pelaku yang mengendalikan sebagian besar perilaku sistem wilayah, dan sekaligus menjadi obyek/sasaran dari perilaku tersebut. Sebagai subyek, manusia lebih berperan sebagai produsen, sehingga kualitasnya ditentukan oleh (a) peubah- peubah skill managerial dan; (b) peubah-peubah skill ketenaga-kerjaan. Seba­gai obyek, nelayan lebih berperan sebagai konsumen, yang kualitasnya ditentu­kan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan fisik minimum. Tampaknya pola perilaku konsumtif di kalangan masyarakat pedesaan pantai merupakan salah satu ciri budaya yang sangat penting.


BAB III

POTENSI DAN KENDALA

3.1. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

Keadaan geografis perairan pantai dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wilayah pantai utara dan wilayah pantai selatan. Perairan pantai utara merupakan daerah selasar benua yang dangkal dan landai, dengan komoditi yang dominan adalah ikan dasar dan ikan permukaan. Perairan pantai selatan meru-pakan perairan dalam dengan komoditi yang dominan adalah ikan pelagis seperti Lemuru dan Tuna.

Perairan pantai utara dan selatan Jawa Timur masih sangat dipengaruhi oleh "Musim Barat" yang berlangsung sekitar bulan Desember hingga Maret. Selama musim ini gelombang laut sangat besar sehingga aktivitas penangkapan ikan berkurang dan akibat­nya produksi ikan rendah. Perairan pantai, khususnya di tempat-tempat pendaratan ikan, telah mengalami pendangkalan dan pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah rumahtangga dan limbah industri pengolahan hasil ikan.

Situasi perkampungan nelayan pantai umumnya tampak kumuh, rumah-rumah penduduk berhimpitan satu sama lain. Sumber air bersih relatif terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari biasanya penduduk membeli air bersih (air PDAM atau air sumur) dari penjual air.

3.2. Teknologi Alat Tangkap dan Penangkapan

Sistem perikanan demersal telah berkembang di perairan pantai utara Jawa Timur dengan alat tangkap berupa purse-seine, dogol, gill-net, dan trammel-net. Jenis ikan tangkapan yang dominan adalah ikan layang, lemuru/tembang, udang dan teri. Sistem perikanan samodera telah berkembang di perairan pantai selatan dengan alat tangkap yang dominan berupa purse-seine, gillnet permukaan, dan pancing prawe. Jenis ikan tangkapan yang dominan adalah tuna (tongkol), lemuru, dan cucut.

Ditinjau dari kelayakan ekonominya dan dengan memper timbang­kan pendapatan pendeganya, ternyata alat tangkap yang layak untuk dikembangkan ialah purse-seine, gillnet, dan payang sangat layak untuk dikembangkan di semua lokasi. Pengenalan tipe alat yang sama dengan disain baru merupakan jalur inovasi yang pros­pektif. Respon nelayan terhadap inovasi teknologi penangkapan umumnya cukup besar, baik terhadap sumber teknologi pemerintah maupun suasta melalui para pedagang ikan. Dalam proses adopsi teknolo­gi diperlukan "efek demonstratif" yang bisa diamati dan dialami langsung oleh nelayan.

3.3. Teknologi Pascatangkap

Secara umum teknologi pasca tangkap dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (i) tradisional dengan aneka komoditi ikan kering, terasi, ikan asap, ikan pindang dan petis, dan (ii) modern dengan komod­iti andalannya tepung ikan dan ikan kalengan. Teknologi tradi­sional dilakukan oleh para pengolah dengan skala kecil hingga menengah, sedangkan teknologi modern dilakukan oleh para pengu­saha besar. Berkembangnya teknologi modern di suatu lokasi ternyata sangat ditentukan oleh tersedianya bahan baku. Teknol­ogi pengawetan ikan dengan menggunakan "proses rantai dingin" dilakukan khusus untuk komoditi ekspor ikan segar.

Industri pengolahan ikan di pedesaan pantai umumnya mampu mem­berikan nilai tambah sekitar 9-45% terhadap komoditi ikan basah. Akan tetapi sebagian besar usaha pengolahan ikan oleh nelayan masih belum dilakukan secara baik dan bersifat sambilan. Usaha pengolahan ikan yang mempunyai prospek bagus di wilayah perairan pantai selatan adalah tepung ikan dan minyak ikan, sedangkan di wilayah perairan pantai utara umumnya adalah ikan kering.

3.4. Sosial Ekonomi

Distribusi pendapatan nelayan di wilayah pedesaan pantai umumnya tidak merata di antara kelompok fungsional masyarakat. Pendapatan nelayan pemilik perahu (juragan darat) dengan alat tangkap purse-seine, gillnet, dan payang rata-rata cukup tinggi, jauh berada di atas kriteria garis kemiskinan yang berlaku sekarang. Sementara itu rataan pendapatan nelayan kecil pemilik sampan/ jukung dan pendega berada pada batas ambang kemiskinan dengan fluktuasi musiman yang sangat besar. Pada musim paceklik rataan pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan sedangkan pada musim panen raya ikan rataan pendapatannya bisa melonjak di atas garis kemiskinan. Dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan nelayan secara proporsional maka usaha penangkapan secara berkelompok yang melibatkan nelayan kecil dan pendega patut direkayasa. Dalam hubungan ini inovasi kredit disarankan melalui sistem "kredit bagi hasil" antara nelayan dengan lembaga sumber kredit.

Rata-rata tingkat pendidikan formal warga pedesaan pantai masih rendah, umumnya hanya berpendidikan sekolah dasar atau yang sederajat. Akses nelayan terhadap fasilitas pendidi­kan formal di atas tingkat sekolah dasar rata-rata masih sangat terbatas. Dalam hal pendidikan ini ternyata respon nelayan terhadap lembaga Madrasah sangat besar. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan kemampuan lembaga Madrasah tersebut untuk melakukan transfer teknologi kepada anak didik. Peranan para Kyai dan Santri di wilayah pedesaan pantai pada umumnya sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat.

3.5. Kendala Perkembangan Pedesaan Pantai

Tiga faktor utama yang menyebabkan lambatnya perkem bangan tek­nologi yang dapat berdampak pada perbaikan kesejah teraan nelayan pendega adalah (i) faktor ekonomi, (ii) faktor sosial-budaya, dan (iii) faktor sosial-politik.

Beberapa kendala yang termasuk faktor ekonomi adalah:

(1). Sektor perekonomian wilayah yang masih didominasi oleh sektor primer penangkapan ikan,

(2). Penguasaan skill, modal dan teknologi oleh nelayan sangat terba­tas,

(3). Distribusi pendapatan yang relatif tidak merata

(4). Prasarana penunjang perekonomian di pedesaan yang masih terbatas,

(5). Hampir seluruh komoditi perikanan yang dihasilkan dipasarkan ke luar daerah, sehingga sebagian besar nilai tambah komoditi dinikmati oleh 'lembaga perantara' yang terlibat dalam pemasa­ran.

Beberapa kendala sosial-budaya adalah

(1). Struktur dan pola perilaku sosial-budaya yang masih berorien­tasi kepada kebutuhan "subsisten"

(2). Sarana pelayanan sosial yang masih terbatas

(3). Proporsi penduduk usia muda cukup besar dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah

(4). Tingkat pengangguran musiman yang cukup besar

(5). Kualitas kehidupan rata-rata masih rendah.

Beberapa kendala sosial-politik adalah:

(1). Partisipasi masyarakat pedesaan pantai di dalam pembangunan belum dapat tersalurkan secara lugas (pendekatan top down masih lebih kuat diband­ingkan dengan bottom up).

(2). Birokrasi pembangunan masih belum mampu menyentuh kepentingan nelayan pendega dan sektor tradisional

(3). Keterbatasan akses nelayan pendega untuk berperan serta dalam kegiatan- kegiatan ekonomi yang lebih luas.

Berdasarkan kondisi seperti di atas maka diperlukan "disain- disain" khusus untuk mengembangkan pedesaan pantai dalam rangka untuk memenuhi "kebutuhan dasar atau kebutuhan fisik minimum" segenap warga masyarakat dan sekaligus melestarikan sumberdaya alam yang tersedia.

BAB IV

MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH DESA PANTAI

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan maka pola pengembangan wilayah pedesaan pantai diarahkan untuk mencapai sasaran peningkatan kesejahteraan masyarakat secara proporsional. Pendekatan yang harus ditempuh adalah "Industri alisasi Pedesaan" yang pada hakekatnya merupakan proses transformasi struktural dan kultural sistem pede­saan yang mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada masyarakat pedesaan.

Permasalahan yang berkaitan dengan transformasi struktural dikaji dengan pendekatan sistem. Sedangkan permasalahan transformasi kultural dikaji dengan pendekatan perubahan perilaku masyarakat pedesaan. Dalam konteks pendekatan sistem, suatu wilayah pedesaan pantai dipandang sebagai sutau sistem yang secara struktural terdiri atas lima kompo­nen pokok, yaitu (1) sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan, (2) perekonomian wilayah pedesaan pantai, (3) kelembagaan sosial pedesaan pantai, (4) sumberdaya manusia dan budayanya, dan (5) sarana dan prasarana fisik penunjang sistem perikanan tangkap. Perilaku dari masing-masing komponen struktural tersebut di atas akan menentukan output sistem yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pede­saan. Upaya perbaikan output sesuai dengan yang diinginkan hanya dimungkinkan kalau perilaku dari komponen-komponen struktural tersebut dapat direnovasi. Selanjutnya renovasi ini hanya mungkin dilakukan kalau kalau dibarengi dengan rekayasa kelembagaan untuk mengeimplementasikan teknologi baru.

Berdasarkan uraian di atas maka strategi pembinaan pedesaan pantai dilakukan melalui Lima Jalur Pembinaan, dimana dua jalur merupakan unsur pokok dan tiga jalur lainnya merupakan unsur penunjang. Dua unsur pokok tersebut adalah: (1). Industrialisasi pedesaan pan­tai; (2). Inovasi teknologi penangkapan Tiga unsur penunjang adalah: (1). Pembenahan kelembagaan perkreditan dan bagi hasil; (2). Renovasi sistem pemasaran komoditi perikanan; (3). Pembinaan perilaku masyarakat pedesaan pantai mengarah kepada perilaku yang lebih produktif

4.1. Industrialisasi Pedesaan Pantai

Proses industrialisasi pedesaan yang mengarah kepada kemajuan masyarakat pada mulanya merupakan masalah psikis atau mental (Alfian, 1991). Masyarakat pedesaan pantai akan dapat menjadi lebih maju dan sejahtera hidup­nya apabila mempunyai sikap mental yang mampu mendorong ke arah kemajuan tersebut. Dengan demikian beberapa macam sikap mental dan perilaku kultural tertentu di kalangan masyarakat pedesaan pantai yang dapat menjadi kendala bagi keberhasilan proses industrialisasi perlu dibina dan dibenahi sehingga sesuai dengan kebijakan dan strategi pemba ngunan yang telah direncanakan.

Pada tingkat selanjutnya proses industrialisasi pedesaan ini diha­rapkan mampu mengakibatkan transformasi struktural yang ditandai oleh diversi­vikasi sumber pendpatan masyarakat dari berbagai aktivitas pengolahan hasil perikanan dan perdagangan produk-produk olahan. Dampak sosial ekonomis yang diharapkan ialah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja yang telah ada, memperbesar pendapatan masyarakat, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup masyarakat pedesaan secara keseluruhan. Proses-proses transformasi tersebut beserta dampak sosial-ekonominya hanya mungkin terjadi kalau didukung oleh tersedianya bahan baku yang memadai. Dengan demikian inovasi dalam teknologi penangkapan merupakan prasyarat pokok bagi berkembang­nya industri pengolahan di pedesaan pantai.

4.2. Inovasi Teknologi Penangkapan

Inovasi teknologi penangkapan ikan pada dasarnya mengarah pada perbaikan efisiensi teknis dan ekonomis. Nelayan sebagai pelaku perbaikan teknologi ini akan semakin maju apabila mempunyai sikap mental kebaharian yang terampil, yaitu mengejar dan memburu ikan kemanapun daerah penangkapan ber­gerak dan berubah. Dengan demikian beberapa sikap mental perilaku kultural bahari merupakan sebuah keharusan. Kultural bahari saat ini masih menghadapi kultural tertentu (one day fishing) yang dapat menjadi kendala dalam proses inovasi teknologi penangkapan ikan yang perlu dibina sejalan dengan strategi dan sasaran inovasi tersebut.

Pada tahap selanjutnya, proses inovasi teknologi ini diharapkan mampu melakukan transformasi teknologi penangkapan ikan yang tradisional menjadi modern yang ditandai dengan penerapan teknologi yang efisien dan mampu mengatasi hambatan gelombang laut dan dapat menjelajahi lautan Nusanta­ra dan zone ekonomi eksklusif. Dengan demikian inovasi teknologi di sini mencakup teknologi perkapalan, mesin, alat penangkapan ikan (jaring atau pancing) dan alat pembantu penangkapan antara lain seperti penggunaan lampu listrik, fish-finder dan sarana komunikasi modern. Kesemuanya itu jelas membutuhkan bukan hanya sekedar mental bahari, tetapi juga pengetahuan dan ketrampilan penggunaan teknologi tertentu.

Dampak sosial ekonomi yang diharapkan adalah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja yang ada, meningkatkan pendapatan nelayan pendega, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup keluarga nelayan secara keseluruhan. Proses transformasi tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpi­sahkan dari proses industrialisasi pedesaan pantai secara keseluruhan. Dalam proses inovasi teknologi penangkapan ikan terkait erat dengan tersedianya input teknologi perkapalan, mesin kapal, jaring alat tangkap dan sarana pem­bantu lainnya, yang biasanyabiased modal. Pada saat ini hampir di seluruh pedesaan pantai yang diteliti telah berkembang suatu sistem penyediaan modal maupun kredit bagi-hasil yang beroperasi secara informal, yaitu untuk "memo­tori" perubahan dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang telah ada sampai sekarang. Sistem permodalan bagi hasil tersebut ternyata telah menjadi unsur oenunjang inovasi teknologi yang ada. Dengan demikian inovasi teknologi penangkapan memerlukan unsur penunjang permodalan dan pemasaran yang "built in" seperti kelembagaan perkreditan bagi hasil dan permodalan ventura yang lebih formal dan profesional. Aspek pemasaran ikan menjadi teramat penting terlebih lagi jika mental kebaharian telah tumbuh yang memungkinkan kehidupan nelayan sebagian terbesar di laut.

4.3. Pembenahan Kelembagaan Perkreditan dan Bagihasil

Upaya pembenahan kelembagaan perkreditan di wilayah pedesaan pantai harus diarahkan pada empat sasaran pokok, yaitu (i) kemantapan koperasi nelayan (KUD nelayan), (ii) pengembangan usaha penangkapan ikan oleh nelayan kecil, (iii) pengembangan usaha pasca tangkap (industri pengolahan) ikan yang berskala kecil oleh masyarakat pedesaan pantai, dan (iv) pembinaan kegia­tan menabung di kalangan nelayan.

Berdasarkan pengalaman adanga ketidak-berhasilan kredit motor/perahu pada masa lalu, maka sistem perkreditan dengan model "angsuran kredit" patut dibenahi dan bila dipandang perlu dapat ditinggalkan. Pembenahan sistem kredit bagi nelayan dalam rangka usaha penangkapan ikan perlu diarah­kan pada "sistem bagi hasil" antara sekelompok nelayan dengan lembaga pemberi kredit. Model ini akan menciptakan usaha nelayan berkongsi dengan sistem bagihasil. Dalam pelaksanaannya sistem bagi hasil dilakukan setiap hari, dimana sekelompok nelayan menyerahkan sebagian hasil tangkapannya pada lembaga pemberi kredit dalam jangka waktu tertentu, setelah itu prasarana perahu /motor/alat tangkap akan menjadi milik nelayan secara berkelompok.

Dalam pelaksanaannya Koperasi Nelayan (KUD Nelayan) tetap sebagai pelaksana pemberi kredit melalui sistem bagi hasil dengan sekelompok nelayan. namun pada waktu-waktu awal kegiatan pelaksanaan bagihasil perlu adanya "partner" KUD. Partner KUD ini dapat merupakan Lembagas Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkualifikasi dapat menciptakan sikap masyarakat yang responsif terhadap KUD.

Dalam rangka pengembangan usaha industri pengolahan ikan, sistem pemberian kredit dengan "model angsuran kredit" masih dapat digunakan. Namun dalam pelaksanaannya perlu diarahkan dengan paket teknologi pengolahan ikan. Untuk menunjang kegiatan perkreditan ini maka penyuluhan dan perluasan pasar patut dilakukan. Dengan demikian pemberi kredit, kegiatan penyuluhan, dan perluasan pasar adalah satu paket yang bersifat utuh. Dalam rangka kegiatan ini KUD dapat dijadikan lembaga penyalur kredit yang didampingi oleh partner KUD, yaitu LSM.

Dalam rangka menciptakan kebiasaan menabung bagi nelayan dan pengo­lah ikan, maka bagihasil yang disetorkan pada KUD atau LSM dan cicilan kredit bagi industri pengolahan ikan perlu ditambahkan sejumlah uang tertentu. Uang tabungan ini hendaknya dapat diambil sewaktu-waktu oleh nelayan atau pengolah ikan, agar dapat menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap KUD.

Usaha memantapkan koperasi nelayan (KUD Nelayan) agar tidak semata-mata seba­gai pemungut retribusi kepada nelayan, maka perluasan usaha koperasi patut dilakukan. Usaha yang dipandang layak adalah usaha penangkapan ikan dan pemasaran ikan. Untuk itu pemberian kredit bagi KUD juga mutlak diperlyukan, namun dalam pelaksanaan awal kegiatan diperlukan juga partner KUD yang bisa berbentuk LSM. Pemberian kredit pada KUD dapat nerupa model "angsuran kredit" atau "model bagi hasil".

4.4. Renovasi Sistem Pemasaran Produk Ikan

Upaya untuk membenahi sistem pemasaran agar dapat lebih menguntung­kan nelayan kecil perlu diarahkan kepada empat sasaran, yaitu (i) peningkatan posisi tawar-menawar nelayan kecil, (ii) perluasan pasar, (iii) sistem pemasa­ran dengan cara pelelangan, dan (iv) keterlibatan KUD dalam pemasaran ikan.

Dalam rangka efisiensi pemasaran hasil ikan yang mmenjadi kunci keberhasilan sebenarnya terletak pada adanya informasi harga dan potensi permintaan di daerah konsumen dan sarana trans-portasi, serta cepat lakunya hasil ikan. Berdasarkan kenyataan ini maka renovasi sistem pemasaran ikan perlu dilakukan dengan cara sebagai berikut (Muhammad dkk., 1992):

(1). Perlu adanya sarana dan fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah pusat pendaratan ikan

(2). Perlu adanya informasi harga dan potensi permintaan produk-produk ikan di lokasi-lokasi konsumen dan produsen,

(3). Sistem pelelangan ikan yang sementara ini kurang berjalan (dan kalau berjalan memerlukan waktu tunggu yang lama) sehingga perlu dibenahi. Pelelangan ikan harus diarahkan dengan tidak perlu menunggu seluruh perahu terkumpul, dimana KUD yang bertindak selaku pelelang.

(4). Pedagang yang akan membeli ikan hendaknya transfer dalam KUD.

(5). KUD perlu diupayakan untuk mampu ikut memasarkan pro-duk-produk ikan ke luar daerah, sehingga perlu kredit sarana transportasi bagi KUD.

4.5. Pembinaan Perilaku Masyarakat dan Kelembagaan Sosial Pede­saan

Pembinaan perilaku kultural masyarakat pedesaan pantai harus diarahkan kepada lima sasaran , yaitu pandangan masyarakat terhadap:

(1). "Makna hidup" yang le-bih positif dan aktif, manusia wajib berupaya secara maksimal untuk menentukan nasibnya sendiri.

(2). "Makna karya, manusia bekerja bukan hanya untuk me-menuhi kebutuhan pangan saja, tetapi juga untuk mendapatkan utilitas- utilitas lain dari hasil karyanya.

(3). "Persepsi waktu", pandangan masyarakat lebih mengarah kepada masa depan.

(4). "Hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya", manu­sia wajib berupaya menggunakan IPTEK yang dikuasainya untuk mengelola dan memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya seoptimal mungkin.

(5). "Hubungan antara manusia dengan sesamanya", ma-nusia wajib berupaya mengembangkan aspek-aspek yang positif dari nilai-nilai budaya gotong-royong.

Pada hakekatnya pembinaan perilaku masyarakat dan kelembagaan sosial di pedesaan adalah untuk menggalang partisipasi segenap masyarakat desa dalam program-program pembangunan. Secara etis dan sosiologis, partisipasi masya-rakat ini sangat penting arti­nya dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Secara etis, pembangunan pedesaan pantai harus memungkinkan terbukanya pel­uang bagi masyarakat untuk berpartisipasi sebagai subyek dan bukan sebagai obyek semata. Sedangkan secara sosiologis, keber­hasilan pembangunan yang berkelanjutan akan ditentukan oleh keterlibatan masyarakat pedesaan pantai dengan segenap sumber­daya yang dikuasainya. Dalam hubungan ini, partisipasi dapat diartikan sebagai keikut-sertaan proporsional dalam sesuatu kegiatan.

Berdasarkan atas strategi tersebut, maka program-program pembi­naan yang diajukan untuk mendorong industrialisasi pedesaan dan perkembangan "Struktur Pedesaan Pantai Maju" dibedakan menjadi dua, yaitu program introduksi dan program pengembangan.


BAB V

PROGRAM PEMBINAAN

5.1. Program Inovasi Teknologi Penangkapan

5.1.1. Kegiatan Proyek

(1). Proyek pembinaan nelayan pemilik perahu Jukung dan Pende­ga dengan alat tangkap gill-net yang dikombinasikan dengan pancing prawe.

(2). Proyek pembinaan nelayan pemilik perahu jukung dan pendega dengan alat tangkap Dogol bergardan

Beberapa faktor penunjang kelayakan ekonomis tersebut adalah:

(a). Meningkatkan sasaran ikan, yakni ikan dasar dan ikan permu­kaan, sehingga hasil tangkapan ikan dapat lebih beragam

(b). Meningkatkan hasil ikan tangkapan ± 10 kali dibandingkan dengan sebelumnya;

(c). Meningkatkan penghasilan nelayan sejalan dengan meningkat­nya hasil tangkapan ikan;

(d). Mengurangi adanya fluktuasi pendapatan nelayan;

(e). Meningkatkan volume dari pedagang ikan;

(f). Meningkatkan pendapatan pemerintah yang berasaldari pungu­tan retribusi;

(g). Menciptakan adanya pola pemilikan perahu secara berke lompok dengan pangsa yang relatif sama.

5.1.2. Kelayakan sosial

Ditinjau dari aspek sosial ternyata usaha penangkapan ikan secara berkelompok yang melibatkan beberapa pendega sudah meru­pakan tradisi di kalangan nelayan. Selain itu kelompok nelayan pemilik jukung/sampan selama ini telah menunjukkan kerjasama yang serasi, sehingga perbaikan teknologi dan peningkatan modal diperkirakan tidak akan menimbulkan konflik sosial.

5.1.3. Rekayasa Kelembagaan

Disamping adanya faktor pendukung sebagaimana tersebut di atas ada beberapa kendala yang dihadapi, yakni:

(a). Nelayan terikat pinjaman pada pengolah/pedagang; pinjaman ini harus dikembalikan kalau nelayan ingin melepaskan ikatan dengan pedagang.

(b). Respon terhadap perkembangan teknologi agak lam-bat karena keterbatasan akses nelayan terhadap peluang-peluang yang ada;

(c). Penguasaan pengetahuan dan teknologi di luar bidang yang telah ditekuni ternyata terbatas;

(d). Respon terhadap KUD umumnya rendah; ada kesan bahwa peranan KUD dianggap hanya menarik retribusi sedangkan peranan­nya dalam membantu pemasaran hasil dan penghim punan modal belum nampak ;

(e). Pandangan nelayan terhadap "makna hidup": sifat pasrah terhadap keadaan yang ada;

(f). Respon terhadap perkreditan rendah, pesimistis. Hal ini tampaknya disebabkan oleh pengalaman masa lalu tentang sistem perkreditan yang kurang berhasil karena tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi nelayan.

Berdasarkan atas beberapa kendala penting yang disebutkan di atas maka strategi rekayasa kelembagaan perlu diarahkan pada:

(a). Meningkatkan peran serta kelembagaan yang ada seperti PTL, PPL dan KUD dalam upaya pembinaan nelayan kecil;

(b). Menciptakan usaha berkelompok dari nelayan yang memung kin­kan usaha kongsi dan bagihasil yang relatif merata;

(c). Mengurangi ketergantungan nelayan pada pengolah /pedagang sehingga mempunyai kekuatan lebih besar dalam pemasaran hasil tangkapan ikan;

(d). Memudahkan dan memperlancar mekanisme penyuluhan dan terse­dianya materi penyuluhan yang sesuai;

(e). Menumbuhkan kepercayaan nelayan terhadap program peme rintah yang digelar di pedesaan melalui pemerintahan desa maupun lemba­ga perkreditan seperti KUD;

(f). Pengaturan sistim bagi hasil ikan, baik dalam hal pemba­gian hasil di antara nelayan anak buah kapal mapun di antara nelayan dengan sumber kredit.

Berdasarkan uraian di atas maka model kelembagaan yang disaran­kan harus mampu memperlonggar ikatan antara nelayan dengan pedagang/pengolah ikan.

5.1.4. Justifikasi Kelembagaan

Ikatan antara nelayan kecil dengan pedagang/pengolah sangat kuat, dimana pedagang memberikan kemudahan pinjaman uang dan perlengkapan penangkapan kepada nelayan dan sekaligus menampung hasil ikan tangkapannya. Model transaksi seperti ini mengaki­batkan nelayan tidak mempunyai kekuatan dalam mena warkan hasil tangkapannya. Sistem kredit bagi hasil dimaksudkan untuk memperlonggar ikatan tersebut sehingga kepentingan nelayan dan pedagang dapat terpe­nuhi secara lebih proporsional. Dengan demikian LSM sebagai penyedia fasilitas kredit diharapkan mampu menjalin kerjasama kemitraan dengan para pedagang dalam proses pemasaran hasil, dan sekaligus membina kerjasama dengan para nelayan .

5.1.5. Pranata

Tanggungjawab dari masing-masing komponen organisasi yang diu­sulkan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

LSM atau Investor

(a). Menyediakan fasilitas kredit bagihasil dalam bentuk per­lengkapan penangkapan ikan yang meliputi perahu alat tangkap dan motor;

(b). Membenahi sistim bagi hasil di antara anak buah kapal dan antara pemilik perahu dengan LSM;

(c). Membina dan mengawasi operasionalisasi pelaksanaan kegia­tan ;

(d). Menjalin kerjasama kemitraan dalam hal pemasaran de-ngan para pengolah/pedagang untuk kemudahan pemasaran

(e). Menjalin kerjasama konsultatif dengan Cabang Dinas Peri­kanan khusus-nya dalam pelatihan/penyuluhan dan pengawasan

(f). Menjalin kerjasama konsultatif dan kemitraan dengan KUD, misalnya dalam hal investasi armada angkutan

(g). Menjalin kerjasama konsultatif dan kemitraan dengan pemer­intahan desa dalam kerangka pembangunan wilayah desa secara keseluruhan.

Pedagang/Pengolah ikan

(a). Diharapkan bersedia sebagai anggota KUD;

(b). Menjalin kerjasama kemitraan dengan LSM dan KUD dalam hal transfer teknologi dan pemasaran komoditi ikan.

Petugas Perikanan (PTL dan PPL)

(a). Bertanggungjawab terhadap pelatihan dan penyuluhan untuk lebih meningkatkan akses nelayan kecil terhadap peluang-peluang ekonomi yang ada;

(b). Menjalin kerjasama konsultatif dan kemitraan dengan LSM/investor dan KUD dalam pelaksanaan transfer teknologi dan pembinaan pengelolaan "kredit bagi hasil";

(c). Pengawasan terhadap nelayan dan pedagang;

(d). Bersama-sama pedagang membantu mencari nelayan yang akan dijadikan sasaran pembinaan.

Koperasi Unit Desa

(a). Mengawasi dan membina pelaksanaan sistem pelelangan ikan di TPI yang melibatkan nelayan ke pedagang;

(b). Membantu LSM/investor dalam operasionalisasi kegiatan pembinaan seperti pengaturan bagi hasil;

(c). Membina mekanisme kerja pemungutan retribusi sehingga dapat memenuhi aspirasi nelayan dan pedagang;

(d). Menjalin kerjasama kemitraan dengan para pedagang/ pengo­lah dalam hal pemasaran ;

(e). Membina dan mengawasi pengaturan bagi hasil jika nelayan telah melunasi kredit-bagi-hasilnya (perahu telah dimiliki oleh nelayan);

(f). Membina dan pengembangkan mekanisme tabungan sukarela dari para nelayan.

Nelayan kecil/pendega

(a). Menjalin kerjasama kemitraan dengan LSM/invesator melalui mekanisme "kredit bagi hasil";

(b). Wajib mengikuti pelatihan teknologi sebelum operasionalisa­si kegiatan;

(c). Bersedia membayar retribusi pada KUD;

(d). Merawat perahu, motor dan alat tangkap;

(e). Memasarkan pada lembaga pemasaran yang ditunjuk oleh LSM atau Investor ;

(f). Pengaturan pemilikan perahu (jika bagi hasil telah lunas), tetap berusaha secara berkongsi, di bawah pembinaan dan pengawasan oleh KUD;

(g). Menjalin kerjasama dengan KUD melalui program tabungan bebas sebagai dana perawatan motor dan perahu.

5.1.6. Strategi Implementasi Proyek

Aspek Kelembagaan

(a). Pengaturan adanya usaha penangkapan ikan secara ber-kelompok (berkongsi) dilakukan sistim kredit bagi hasil bukan melalui kredit angsuran;

(b). Perahu, motor dan alat tangkap akan menjadi milik nelayan secara berke lompok setelah waktu tertentu berda­sarkan saham yang diinvestasikan;

(c). Pengaturan bagi hasil diatur sedemikian rupa, dimana nilai keuntungan investor tidak didasarkan pada nilai bagi hasil yang lebih tinggi bagi investor, diatur berdasarkan lama­nya adanya perjanjian sistim bagi hasil;

(d). Pada tahap pertama, pemilihan contoh pedagang, dan nelayan perlu diarahkan kepada pribadi-pribadi yang mempunyai kualifika­si panutan dan respon terhadap aparat desa dan KUD;

(e). Perlu dijalin kerjasama kemitraan yang harmonis antara LSM (investor), pedagang/pengolah, KUD dan pemerintahan desa. Kunci keberhasilan pembinaan ini sangat tergantung pada peran-serta pengolah/pedagang, karena banyaknya nelayan yang terikat pinja­man motor dan sebagai penyalur hasil ikan nelayan. Oleh karena­nya usaha meyakinkan pedagang bahwa akan mendatangkan keuntungan baginya patut dilakukan.

5.1.7 Operasionalisasi Teknis

Rekapitulasi pengaturan teknis yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan program kredit-bagi-hasil ini adalah :

No.

Keterangan

Operasinal

1.

Jumlah perahu yang dioperasionalkan

±3 buah

2.

Jumlah ABK dalam usaha berkelompok

± 5 orang

3.

Bagi hasil antara nelayan dan investor

a : b

4.

Tenggang perjanjian bagi hasil

x tahun

5.

Nilai modal yang diinvestasikan investor

Rp ...........

5.1.8. Operasionalisasi Pengorganisasian

Pengorganisasian yang dilakukan untuk menunjang program ini adalah :

No.

Tahapan Kegiatan

Pelaksana

1.

Pengaturan kerjasama investor

Investor dan

dengan Cabang Dinas Perikanan

Dinas Perikanan

2.

Pencarian pedagang sebagai kom-

ponen pembinaan

Investor

3.

Pengaturan kerjasama investor

dengan KUD pedagang dan PPL

Investor

4.

Petalihan PPL tentang teknologi

Cabang Dinas Pe-

yang akan diintroduksikan

rikanan

5.

Pencarian nelayan untuk usaha

PPLKUD dan

berkongsi dalam penangkapan ikan

pedagang

6.

Pelatihan nelayan

PPL

7.

Operasionalisasi kegiatan usaha

penangkapan secara berkongsi:

a. Penangkapan ikan

Nelayan

b. Pembeli hasik ikan nelayan

Pedagang

c. Pengatur pengawas bagi hasil

PPL dan KUD

d. Pengawasan harga

KUD

e. Pembeli bagi hasil investor

Pdagang investor

f. Penanggungjawab bagi hasil

KUD dan PPL

8.

Pengaturan usaha berkongsi ne-

layan setelah bagi hasil lunas

KUD

5.2. Program Industrialiasi Pedesaan Pantai

5.2.1. Pengeringan ikan lemuru.

A. Faktor Ekonomi

Proyek pembinaan pengolah gaplekan ikan lemuru dengan menerap­kan sistem inti nelayan. Sebagai inti adalah pabrik tepung dan plasmanya adalah pengolah dan nelayan. (Lokasi Pedesaan Pantai Selatan Jawa Timur). Beberapa faktor penunjang kelayakan ekonomis tersebut adalah:

(a). Meningkatkan skala usaha pengolahan ikan gaplekan dan sekaligus memperbaiki kualitas

(b). Meningkatkan penghasilan pengolah, baik melalui perbaikan kualitas gaplekan maupun adanya tambahan penghasilan dari minyak ikan, peningkatan ini bisa mencapai 60% dibandingkan dengan sebelumnya;

(c). Meningkatkan penghasilan nelayan sejalan dengan mening­katnya volume pengolahan ikan ;

(d). Mengurangi efek negatif akibat fluktuasi penghasilan pengo­lah, melalui mekanisme menabung;

(e). Meningkatkan volume perdagangan ikan gaplekan dan tepung ikan dan sekaligus memperkuat sektor non-formal

B. Kelayakan sosial

Ditinjau dari aspek sosial ternyata usaha pengolahan ikan gaple­kan secara mandiri dan berkelompok yang melibatkan beberapa pengolah dan nelayan kecil sudah bukan merupakan hal yang baru di kalangan nelayan. Selain itu kelompok pengolah gaplekan, nelayan kecil, dan pedagang pengumpul selama ini telah menun­jukkan kerjasama yang serasi, sehingga perbaikan teknologi dan peningkatan modal tidak akan menimbulkan konflik sosial.

C. Rekayasa Kelembagaan

Disamping adanya beberapa peluang pengembangan seperti di atas, ada beberapa kendala yang dihadapi, yakni:

(a). Pengolah gaplekan terikat pinjaman uang pada pedagang pengumpul; pinjaman ini merupakan semacam ikatan yang mengharus­kan pengolah menjual hasil olahannya kepada pedagang pengumpul tersebut.

(b). Respon terhadap perkembangan teknologi agak lambat karena keterbatasan akses pengolah dalam sistem pemasaran

(c). Respon terhadap KUD umumnya rendah; ada kesan bahwa peranan KUD dianggap hanya menarik retribusi sedangkan peranan­nya dalam membantu pemasaran hasil olahan dan penghimpunan modal belum nampak ;

(d). Pandangan pengolah-pengolah kecil terhadap "makna hidup": sifat pasrah terhadap keadaan yang ada;

(f). Respon terhadap lembaga perkreditan formal relatif ren­dah, dan pesimistis. Hal ini tampaknya disebabkan oleh pengala­man masa lalu tentang sistem kredit-cicilan yang kurang berhasil karena tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi pengolah kecil .

Berdasarkan atas beberapa kendala penting yang disebutkan di atas maka strategi rekayasa kelembagaan perlu diarahkan pada:

(a). Meningkatkan peran serta kelembagaan yang ada seperti pedagang, pemuka masyarakat dan KUD dalam upaya pembinaan pengo­lah kecil;

(b). Menciptakan usaha berkelompok di antara para pengolah yang memung kinkan usaha kongsi dalam pengadaan investasi yang besar ;

(c). Mengurangi ketergantungan pengolah gaplekan pada sesuatu pedagang pengumpul atau pabrik tepung ;

(d). Pengaturan sistim bagi hasil, baik dalam hal pembagian hasil di antara anggota kelompok pengolah dan antara pengo­lah dengan sumber kredit.

Berdasarkan uraian di atas maka model kelembagaan yang disaran­kan harus mampu memperlonggar ikatan antara nelayan dengan pedagang pengumpul.

D. Justifikasi Kelembagaan

Ikatan antara pengolah kecil dengan pedagang pengumpul sangat kuat, dimana pedagang memberikan kemudahan pinjaman uang dan/atau peralatan kepada pengolah dan sekaligus menampung hasil ikan tangkapannya. Model transaksi seperti ini mengakibatkan pengolah-pengolah kecil tidak mempunyai kekuatan dalam menawar­kan hasil olahannya.

Sistem kredit bagi hasil dimaksudkan untuk memperlonggar ikatan tersebut sehingga kepentingan pengolah-pengolah kecil dan peda­gang dapat terpenuhi secara lebih proporsional. Dengan demikian LSM sebagai penyalur fasi-litas kredit diharapkan mampu menja­lin kerjasama kemitraan dengan para pedagang dalam proses pema­saran hasil, dan sekaligus membina kerjasama dengan para pengo­lah .

E. Strategi Implementasi Proyek

(a). Pengaturan adanya usaha pengolahan Gaplekan ikan secara berkelompok (kelompok inti nelayan) dilakukan secara sistim kredit bagi hasil bukan melalui kredit angsuran;

(b). Peralatan pengolah yang bersekala agak besar akan menjadi milik bersama secara berkelompok setelah kredit lunas berdasar­kan saham yang diinvestasikan;

(c). Pengaturan bagi hasil diatur sedemikian rupa, dimana nilai keuntungan investor tidak didasarkan pada nilai bagi hasil yang lebih tinggi bagi investor, melainkan diatur berdasarkan lamanya masa pelunasan kredit bagi hasil;

(d). Pada tahap pertama, pemilihan contoh pengolah , perlu diarahkan kepada pribadi-pribadi yang mempunyai kualifikasi panutan dan cukup responsif terhadap aparat pemerintahan desa dan KUD;

(e). Perlu dijalin kerjasama kemitraan yang harmonis antara LSM (investor), pedagang, pengolah, KUD dan pemerintahan desa. Kunci keberhasilan pembinaan ini sangat tergantung pada peran-serta pedagang, karena banyaknya pengolah-pengolah kecil yang terikat pinjaman dan sebagai penyalur hasil ikan gaplekan . Oleh karena­nya usaha meyakinkan pedagang bahwa akan mendatangkan keuntungan baginya patut dilakukan.

F. Enforcement Dan Pemantauan

Dalam rangka untuk mengamankan dan membantu kelancaran kredit bagi-hasil bagi pengolah gaplekan kecil tersebut perlu dikem­bangkan pola insentif dan penalti secara khusus yang melibatkan aparat pemerintahan desa, dan kelembagaan lain yang terkait. Dalam hubungan ini pendekatan persuasif sangat diperlukan.

5.2.2. Pembinaan Pengolah ikan kering

A. Faktor Penunjang

Beberapa faktor penunjang kelayakan ekonomis tersebut adalah:

(a). Meningkatkan skala usaha pengolahan ikan kering dan teri nasi sekaligus memperbaiki kualitas

(b). Meningkatkan penghasilan pengolah, baik melalui perbaikan kualitas ikan kering dan adanya tambahan penghasilan dari membesarnya skala usaha , peningkatan dapat mencapai 60%-100% dibandingkan dengan sebelumnya;

(c). Meningkatkan volume perdagangan ikan gaplekan dan tepung ikan dan sekaligus memperkuat sektor non-formal

B. Rekayasa Kelembagaan

Disamping adanya beberapa peluang pengembangan seperti di atas, ada beberapa kendala yang dihadapi, yakni:

(a). Pengolah ikan kering terikat pinjaman uang pada pedagang pengumpul; pinjaman ini merupakan semacam ikatan yang mengharus­kan pengolah menjual hasil olahannya kepada pedagang pengumpul tersebut.

(b). Respon terhadap perkembangan teknologi agak lambat karena keterbatasan akses pengolah dalam sistem pemasaran

(c). Respon terhadap KUD umumnya rendah; ada kesan bahwa peranan KUD dianggap hanya menarik retribusi sedangkan peranan­nya dalam membantu pemasaran hasil olahan dan penghimpunan modal belum nampak ;

(d). Respon terhadap lembaga perkreditan formal relatif ren­dah, dan pesimistis. Hal ini tampaknya disebabkan oleh pengala­man masa lalu tentang sistem kredit-cicilan yang kurang berhasil karena tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi pengolah kecil .

Berdasarkan atas beberapa kendala penting yang disebutkan di atas maka strategi rekayasa kelembagaan perlu diarahkan pada:

(a). Meningkatkan peran serta kelembagaan yang ada seperti pedagang, pemuka masyarakat dan KUD dalam upaya pembinaan pengo­lah kecil;

(b). Menciptakan usaha berkelompok di antara para pengolah yang memung kinkan usaha kongsi dalam pengadaan investasi yang besar ;

(c). Mengurangi ketergantungan pengolah gaplekan pada sesuatu pedagang pengumpul atau pabrik tepung ;

(d). Pengaturan sistim bagi hasil, baik dalam hal pembagian hasil di antara anggota kelompok pengolah dan antara pengo­lah dengan sumber kredit.

5.3. Program Rekayasa Sosial dan Kelembagaan

5.3.1. Renovasi kelembagaan perkreditan dengan sistem bagi hasil, disesuaikan dengan budaya nelayan.

A. Justifikasi kelembagaan

(1). Budaya nelayan terhadap "uang" sangat spesifik, pada umum­nya nelayan enggan melepaskan uang yang telah dipegang. Oleh karena itu sistem perkreditan harus diarahkan pada "sistem bagi hasil" dimana pembayaran kredit dilakukan dalam bentuk "bagian dari hasil tangkapan".

(2). Lembaga pelaksana kredit bagi hasil secara informal telah lazim dilakukan, sehingga secara teknis bisa ditempuh; oleh karena itu sistem perkreditan formal perlu memanfaatkan asset sosial ini.

5.3.2. Sistem Pendidikan "Madrasah Plus"

Sasaran dari program ini adalah perubahan perilaku dalam masya­rakat pedesaan pantai dan sekaligus alih teknologi antar genera­si.

(1). Kondisi yang ada sekarang

1.1. Banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan oleh sebagaian anggota keluarga pendega, terutama isteri pendega.

1.2. Banyak kejadian bahwa anak usia sekolah SD dan SLTP membe­lanjakan uang mereka untuk membeli makanan (mie, sate dan lain-lain) dan minuman (fanta, dan minuman kaleng atau botol lainnya) dan bermain-main dengan video game sampai pukul 24.00.

1.3. Bila seorang murid pria mengalami kesulitan keuangan pemba­yaran biaya studi, orang tua biasanya mengajak anak mereka untuk membantu menangkap ikan sehingga selama beberapa hari tidak masuk sekolah.

1.4. Terdapat TK, SD dan Madrasah Ibtidaiyah. Tsanawiyah dan Aliah, Madrasah Islamiyah, Masyiatul Asyiah yang mempunyai hubungan sangat erat dengan masyarakat nelayan. Sekolah ini lebih banyak menampung murid perempuan.

1.5. Terdapat beberapa perkumpulan Pemuda Muhamadiyah, Ge-rakan Pemuda Ansor, Pemuda NU dan Fatayat (Wanita Nahdatul Ulama).

1.6. Beberapa orang kyai ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar dan menjadi panutan dalam pendidikan non-formal. Para Kyai ini biasanya adalah pemimpin utama Pesantren di sekitar wilayah pedesaan pantai.

(2). Kondisi yang dinginkan:

1. Wanita keluarga pendega mampu lebih aktif menggunakan waktu luangnya untuk menambah pendapatan keluarganya atau meningkatkan menabung untuk mengarah kepada pemilikan alat tangkap sendiri atau untuk biaya sekolah anak-anaknya.

2. Anak pria yang akan menjadi kepala keluarga nantinya diha­rapkan mempunyai wawasan yang lebih luas dan menguasai teknologi yang lebih banyak sehingga dapat mengandalikan keluarganya untuk berpola hidup produktif .

3. Anak wanita disiapkan menjadi wanita yang mampu mengen­dalikan ekonomi rumahtangga dan pendorong, serta pengawas pen­didikan bagi anak-anaknya.

Rekayasa Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Pantai Kasus di Wilayah Weru Kompleks.

(1). Banyak ditemukan perilaku berikut ini

- waktu luang istri pendega kurang dimanfaatkan

- anak usia sekolah SD/SLTP sering "berfoya-foya" jajan dan main video game sampai larut malam

- anak pria tidak masuk sekolah beberapa hari diajak orang tuanya melaut.

- pendidikan keagamaan dominan menampung wanita

(2). Tempat pendidikan banyak

- Nilai keagamaan kuat

- Kyai ada

- Orang tua tidak keberatan anak mereka masuk pendidikan keagamaan

(3). Sistem pendidikan mengikuti pola kehidupan masyarakat.

(4). Organisasi: Pesantren sebagai pusat pengelola bekerjasama dengan Dikbud. Pesantren tidak harus bertempat di desa pantai, menggunakan pesantren yang sudah ada (misal Pondok Pesantren Karang-asem). Saluran informasi menggunakan blandongan dan "lingkungan" serta melalui mimbar Jumat

(5) Ulama menjadi panutan dalam masyarakat. Ada hubungan kerabat antara kyai di desa pantai dengan kyai di Pondok Pesan­tren Karangasem.

Di desa pantai ini masyarakat sangat mudah diajak menyum­bang dana untuk kegiatan keagamaan. Banyak tempat-tempat pen­didikan keagamaan didirikan di desa ini.

(6) Sasaran pendidikan ini terdiri dari tiga:

Wanita istri pendega dalam jangka pendek dan anak wanita serta anak pria jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek dengan target perubahan perilaku ± 10 tahun dan untuk jangka panjang pada generasi berikutnya.

(7) Wanita istri pendega dididik melalui cara: "anak wanita di tempat pendidikan diarahkan ke pendidikan keluarga dengan pola hidup aktif bekerja. Anak pria dididik melalui blandongan atau melalui "lingkungan" dan mimbar Jum'at secara langsung atau tidak langsung melalui orang tuanya.

5.3.3. Rekayasa kelembagaan pemasaran dengan pola KUD-TPI- Pedagang-

Nelayan

I. Peluang Kembali ke Sistem Cawukan atau Uang

Dalam hal retribusi yang seringkali dianggap sebagai kendala bagi mekanisme kelembagaan TPI tampaknya ada dua macam peluang untuk membenahinya, yaitu :

(1). Penyesuaian pelaksanaan penyuluhan, seharusnya petugas dari kabu­paten melakukan penyuluhan pada hari Jumat, yang merupakan hari libur bagi nelayan.

(2). Restribusi menurut kebiasaan setempat yaitu dengan sistem cawukan.

II. Rekayasa Kelembagaan Pelelangan Ikan Sumber Cawukan

(Edi Susilo, 1992)

Rekayasa kelembagaan diarahkan pada sasaran "keadilan distri­busi" hasil pemanfatan sumberdaya oleh masyarakat. Salah satu kelembagaan yang mendesak untuk mendapat perhatian adalah "menghidupkan kembali" peranan KUD-TPI yang telah ada. Langkah awal rekayasa ini adalah untuk menumbuhkan kembali citra KUD-TPI atas kemanfaatannya bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Kelengkapan sistem cawukan ini adalah upaya pendekatan (penyuluhan) yang didasarkan pada analisa situasi:

(a). Hari Jumat adalah hari libur bagi nelayan, oleh karena itu pelak­sanaan penyuluhan pada hari Jumat, setelah sholat Jum'at;

(b). Tokoh panutan masyarakat pedesaan pantai umumnya adalah ulama, oleh karena itu pendekatan pada ulama harus diperhatikan;

(c). Masyarakat nelayan mampu "memperkembangkan" kelompok dengan dua peringkat; pertama blandongan yang beranggotakan nelayan dan kedua "lingkungan" yang beranggotakan Kepala Keluarga. Kedua lembaga ini merupakan sarana difusi informasi yang efektif.


DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1991. Makna Pancasila dalam Masyarakat Industri Modern. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V., 3-7 September 1991, Jakar­ta. Pusat Analisa Perkembangan IPTEK-LIPI, Jakarta.

BPPI, 1991. Paket Teknologi Penangkapan Ikan Rawai Basah. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang.

----, 1991. Teknologi Penangkapan Ikan dengan Purse Seine Mini. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang.

Dinas Perikanan, 1985 Laporan Tahunan Perikanan Jawa Timur, 1985. Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya

FAO, 1983. The Production and Storage of Dried Fish. FAO Fisher­ies Report No.279. Supplement FIIU/R.279. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Harahap, B., 1989. Kebijakan Pemerintah di dalam Industrialisasi dan Industrialisasi Pedesaan, Simposium Industrialisasi Pedesaan, Bogor 18-19 Desember 1989, IPB-Bogor.

KPIP, 1991. Rancangan Program Implementasi Pola Ilmiah Pokok. Industrialisasi Pedesaan. Industrialisasi Pedesaan, Pusat Peneli­tian, Universitas Brawijaya, Malang.

Kantor Statistik, 1987. Jawa Timur Dalam Angka 1987, Kantor Statistik dan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya.

-----------------, 1990. Jawa Timur Dalam Angka 1990, Kantor Statistik dan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya.

Mosher A.T., 1974. Menciptakan Struktur Pedesaan Progressif (Terjemahan R. Wirjomidjojo dan Sudjanadi). Penerbit CV. Jasa Guna, Jakarta.

------------, 1983. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Syarat- syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi (Terjemahan S. Kris­nandhi dan B. Samad). Penerbit CV. Jasa Guna, Jakarta.

Orejana F.M. dan M.E. Embuscado, 1983. A New Solar-Agrowaste Smoker-Drier for Fish and Shellfish. Dalam FAO Fisheries Report No.279 Supplement.

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, 1989. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima 1989/1990-1993/1994. Buku I, II, III, dan IV. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Timur, Surabaya.

Sumardi J.A., Wahono, Duliati S. Imam, dan Darius, 1983. Dried Fist in East Java, Indonesia Dalam. FAO Fishiries Report No.279, Supplement.