I made this widget at MyFlashFetish.com.

Minggu, 15 Maret 2009

ANALISIS STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI
UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
TAHURA MURHUM KOTA KENDARIPROVINSI SULAWESI TENGGARA
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang tinggi. Hal ini terjadi karena keadaan alam yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya.
Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam Hutan Hujan Tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit dan saprofit.
Pohon-pohon dan banyak tumbuhan lain berakar menyerap unsur hara dan air pada tanah. Daun-daun yang gugur, ranting, cabang, dan bagian lain yang tersedia menjadi makanan untuk sejumlah inang hewan invertebrata, seperti rayap juga untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian yang gugur dan dengan pencucian daun-daun oleh air hujan. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis persediaan unsur hara total sebagian besar terdapat dalam tumbuhan; secara relatif kecil disimpan dalam tanah (Withmore, 1975).
Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun.
Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.
Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan.
Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 - 2 juta ha per tahun, sedangkan kemampuan Pemerintah dengan Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan hanya mampu merehabilitasi sekitar 3 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun (2003-2007). Apabila kegiatan Gerhan ini sungguh berhasil seluruhnya berarti masih tersisa sekitar 5 – 7 juta ha yang perlu direhabilitasi untuk mengimbangi kerusakan hutan yang mencapai 8 - 10 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002-2003, khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan tidak ada data 8,52 juta ha (7 %) (BAPLAN, 2005). Ini berarti sebenarnya hanya sekitar 85,96 juta ha yang dapat dikatakan hutan dari kawasan hutan yang telah ditetapkan.
Luas kawasan hutan di Propinsi Sulawesi Tenggara menurut hasil paduserasi antara TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 1995 (Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 1995) adalah ± 2.598.667,46 hektar atau 68,13 % dari luas daratan propinsi.
Dari Data yang didapat menurut Perda No.20 Tahun 1995 diketahui bahwa areal hutan lindung Kota Kendari seluas 441.100,00 ha termasuk didalamnya kawasan hutan lindung Tahura Murhum dengan luas 8.146 ha. Kawasan hutan ini ditunjuk sebagai Taman Hutan Raya MURHUM berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 289/Kpts-11/95 tanggal12 Juni 1995. Sebelumnya telah dinyatakan sebagai taman hutan raya oleh Gubernur KDH TK I Sultra pada tanggal 6 Desember 1993 dengan SK Nomor 808 Tahun 1993.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Tahura Murhum Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Analisis Struktur dan Komposisi Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Tahura Murhum Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara ?”
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui struktur dan komposisi vegetasi Kawasan Hutan Lindung Tahura Murhum.
2. Mengetahui pola komunitas hutan dan hubungan pola komunitas tersebut dengan faktor lingkungannya.
3. Mengetahui tingkat kerusakan serta upaya rehabilitasi yang dilakukan dalam kawasan Hutan Lindung.
4. Mengetahui program dan realisasi pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Tahura Murhum.
1.4 Manfaat
Selain itu Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat :
1. Memberikan informasi jenis vegetasi penyusun dan kondisi alam Tahura Murhum.
2. Memberi masukan kepada Instansi terkait dalam rangka pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Tahura Murhum..




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 6 ayat 1 dan 2, membagi hutan menurut fungsi pokoknya menjadi (1) hutan konservasi, (2) hutan lindung dan (3) hutan produksi. Definisi yang diberikan untuk ”hutan produksi” adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Interpretasi menyimpang membuat hutan tersebut dikhususkan untuk tujuan produksi saja tanpa memperhatikan fungsi yang lain seperti pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah, pelestarian lingkungan hidup, konservasi keanekaragaman hayati dan sebagainya. Langkah yang tepat adalah memanfaatkan hutan secara bijaksana tanpa melupakan bahwa hutan merupakan suatu ekosistem, dimana komponen-komponennya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Setiap kawasan hutan memiliki fungsi yang beranekaragam. Untuk memenuhi keseluruhan fungsinya maka perlu pengaturan dalam pengelolaan hutan yang baik. Setiap upaya menaikkan salah satu fungsi atau salah satu output akan memarginalkan fungsi yang lain (Schrechenberg dan Hadely (1995).
2.1 Hutan
Pengertian hutan oleh Dengler merupakan suatu kumpulan pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lainnya yang pada kerapatan dan luas tertentu mampu menciptakan iklim setempat serta keadaan ekologis berbeda dengan diluarnya. Menurut Spurr (1973) hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks.
Pohon tidak dapat dipisahkan dari hutan, karena pepohonan adalah vegetasi utama penyusun hutan tersebut. Selama pertumbuhannya pohon melewati berbagai tingkat kehidupan sehubungan dengan ukuran tinggi dan diameternya. Menurut Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis. Dengan demikian berarti berkaitan dengan proses-proses yang berhubungan yaitu:
Hidrologis, artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di tengah-tengah hutan secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi tanah dari erosi dan daur unsur haranya.
Iklim, artinya komponen ekosistern alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan (air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim makro maupun mikro.
Kesuburan tanah, artinya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama dan penyimpan unsur-unsur mineral bagi tumbuhan lain. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis batu induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah yang meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi wilayah, vegetasi dan jasad jasad hidup. Faktor­-faktor inilah yang kelak menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi hutan dan vegetasi hutan.
Keanekaan genetik, artinya hutan memiliki kekayaan dari berbagai jenis flora dan fauna. Apabila hutan tidak diperhatikan dalam pemanfaatan dan kelangsungannya, tidaklah mustahil akan terjadi erosi genetik. Hal ini terjadi karena hutan semakin berkurang habitatnya.
Sumber daya alam, artinya hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang inciustri. Selain itu hutan juga memberikan fungsi kepada masyarakat sekitar hutan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain kayu juga dihasilkan bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih dan rotan serta tanaman obat-obatan.
Wilayah wisata alam, artinya hutan mampu berfungsi sebagai sumber inspirasi, nilai estetika, etika dan sebagainya.
2.2 Stuktur dan Komposisi
Muller (1974) membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan.
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-­tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Danserau - Dombois, 1974)
Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:
Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu. Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya tampak terbatas (Whitmore,1975).
Selanjutnya Kershaw (1973) menyatakan, stratifikasi hutan hujan tropika dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A (lapisan pohon-pohon yang tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada di baaTahnya atau yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan belukar) dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Struktur suatu masyarakat tumbuhan pada hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi pohon-pohon perdu dan herba tanah.
Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain ­lain), waktu dan kesempatan (Marsono,1977).
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara,1998).
Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis-jenis dalam suatu areal. jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominasi suatu merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis terhadap komunitas.
Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah dan jumlah individu tiap jenis pada komunitas tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis.
2.3 Analisis Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-­tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya.
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari :nasyarakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petak­petak pengamatan yang sifatnya permanen atau sementara. Menurut Soerianegara (1974) petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak.
Pola komunitas dianalisis dengan metode ordinasi yang rnenurut Dombois­ dan E1lenberg (1974) pengambilan sampel plot dapat dilakukan dengan random, sistematik atau secara subyektif atau faktor gradien lingkungan tertentu.
Untuk memperoleh informasi vegetasi secara obyektif digunakan metode ordinasi dengan menderetkan contoh-contoh (releve) berdasar koefisien ketidaksamaan (Marsono, 1987). Variasi dalam releve merupakan dasar untuk mencari pola vegetasinya. Dengan ordinasi diperoleh releve vegetasi dalam bentuk model geometrik yang sedemikian rupa sehingga releve yang paling serupa mendasarkan komposisi spesies beserta kelimpahannya akan rnempunyai posisi yang saling berdekatan, sedangkan releve yang berbeda akan saling berjauhan. Ordinasi dapat pula digunakan untuk menghubungkan pola sebaran jenis jenis dengan perubahan faktor lingkungan.
2.4 Suksesi
Suksesi tumbuhan adalah penggantian suatu komunitas tumbuh-tumbuhan oleh yang lain. Hal ini dapat terjadi pada tahap integrasi lambat ketika tempat tumbuh mula-mula sangat keras sehingga sedikit tumbuhan dapat tumbuh diatasnya, atau suksesi tersebut dapat terjadi sangat secapat ketiaka suatu komunitas dirusak oleh suatu faktor seperti api, banjir, atau epidemi serangga dan diganti oleh yang lain (Daniel, et al, 1992).
Perubahan bersifat kontinu, rentetan suatu perkembangan komunitas yang merupakan suatu sera dan mengarah ke suatu keadaan yang mantap (stabil) dan permanen yang disebut klimaks. Tansley (1920) mendefinisikan suksesi sebagai perubahan tahap demi tahap yang terjadi dalam vegetasi pada suatu kecendrungan daerah pada permukaan bumi dari suatu populasi berganti dengan yang lain. Clements (1916) membedakan enam sub-komponen : (a) nudation; (b) migrasi; (c) excesis; (d) kompetisi; (e) reaksi; (f) final stabilisasi, klimaks. Uraian Clements mengenai suksesi masih tetap berlaku. Bagaimanapun sesuatu mungkin menekankan subproses yang lain, contohnya perubahan angka dalam populasi merubah bentuk hidup integrasi atau perubahan dari genetik adaptasi populasi dalam aliran evolusi.
Suksesi sebagai suatu studi orientasi yang memperhatikan semua perubahan dalam vegetasi yang terjadi pada habitat sama dalam suatu perjalanan waktu (Dombois and Ellengberg, 1974).
Mueller (1974) menyatakan, suksesi ada dua tipe, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Perbedaaan dua tipe suksesi ini terletak pada kondisi habitat awal proses suksesi teijadi. Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Cangguan ini mengakibatkan lulangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asal, terbentuk habitat baru. Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas atau ekosistem alami terganggu baik secara alami atau buatan dan gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada.
Interaksi dari semua faktor yang berpengaruh tersebut akan menentukan komposisi jenis hutan Untuk memperoleh informasi vegetasi secara obyektif beberapa cara dapat dilakukan. Dengan demikian keberadaan tegakan hutan akan bervariasi antar satu tipe dengran tipe lainnya bahkan terdapat variasi antar unit pengelolaan hutan.
Salah satu cara untuk memperoleh informasi tentang arah suksesi adalah melalui analisa struktur tegakan. Analisa spesies pohon dalam suatu komunitas berdasarkan struktur diameter dapat mengungkapkan kecenderungan suksesi suatu spesies yang memiliki populasi yang besar pada kelas ukuran kecil dan lebih kecil pada kelas ukuran besar, bahwa jenis tersebut cocok dengan habitat tersebut. Sebaliknya spesies yang memperlihatkan kecenderungan berlawanan berarti spesies tersebut sulit beregenerasi sehingga cenderung akan hilang dari komunitas (Walangitan, 1993). Selanjutnya juga dikatakan bahwa faktor lingkungan yang membatasi jumlah spesies yang hidup pada suatu tahap suksesi digolongkan ke dalam dua kategori. Perlama, faktor lingkungan yang mengakibatkan stres terdiri dari fenomena-fenomena yang membatasi hasil fotosintesa seperti cahaya, air, unsur hara tanah dan suhu; Kedua, faktor yang berhubungan dengan terjadinya kerusakan baik kerusakan sebagian maupun keseluruhan biomassa vegetasi seperti serangan hama, patogen atau manusia.
Laju pertumbuhan populasi dan komposisi spesies berlangsung dengan cepat pada fase awal suksesi, kemudian menurun pada perkembangan berikutnya. Kondisi yang membatasi laju pertumbuhan populasi dan komposisi spesies pada tahap berikutnya adalah faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu. Faktor lingkungan yang terbentuk ditentukan oleh intensitas tebangan yang dilakukan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980).
2.5 Faktor-Faktor Lingkungan dan Pertumbuhan
Menurut Kramer dan Kozlowski (1979), pertumbuhan merupakan hasil akhir interaksi dari berbagai proses fisiologis, dan untuk mengetahui mengapa pertumbuhan pohon berbeda pada berbagai variasi keadaan lingkungan dan perlakuan, diperlukan bagaimana proses fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan.
Sebagai media pertumbuhan dan tempat penyediaan hara bagi pertumbuhan tanaman, kapasitas tanah adalah relatif terbatas dan sangat tergantung dari sifat dan ciri tanah tersebut. Sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanah mempunyai beberapa peranan diantaranya, untuk pengaturan suhu tanah, udara tanah dan air tanah. Daniel et al. (1992) menyatakan bahwa pengetahuan mengenai ilmu tanah merupakan dasar bagi pengelolaan silvikultur hutan, karena kualitas tanah merupakan salah satu kendala dalam praktek silvikultur. Lebih lanjut dikatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan silvikultur di antaranya penentuan produktivitas tempat tumbuh sangat dipengaruhi oleh faktor tanah. Berdasarkan peranan tanah terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman, maka sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah di antaranya kandungan unsur hara, kemasaman tanah (pH tanah), kandungan bahan organik tanah (BO), kelengasan tanah, tekstur dan struktur tanah dan lain-lain merupakan faktor-faktor penting yang berperan dalam menentukan kualitas dari tempat tumbuh.
2.6 Landasan Teori
Hutan merupakan sumberdaya alam yang merupakan suatu ekosistem. Di dalam ekosistem ini terjadi hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan lingkungannya. Lingkungan tempat tumbuh dari tumbuhan merupakan suatu sistem yang kompleks, dimana berbagai faktor saling berinteraksi dan berpengaruh secara timbal balik secara langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu respons tumbuhan terhadap faktor lingkungan, dimana tumbuhan tersebut akan memberikan respons menurut batas toleransi yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut. Pada suatu kondisi tumbuhan memiliki respons yang minimal, maksimal atau optimal. Apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka pertumbuhan dari tumbuhan itu akan mengalami tekanan bahkan dapat mengalami kematian pada kondisi yang ekstrem. Untuk mengetahui perbedaan respons tumbuhan terhadap lingkungan atau terhadap perlakuan yang diberikan perlu diketahui bagaimana pertumbuhan itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari suatu organisme, oleh karena itu terdapat banyak cara yang dapat dilakukan atau digunakan untuk mengukur pertumbuhan tersebut. Analisis Ordinasi merupakan salah satu metode yang banyak digunakan oleh para ahli ekologi vegetasi untuk mempelajari hubungan antara pertumbuhan dari tumbuhan dan faktor lingkungan yang obyektif.
Ordinasi merupakan suatu cara dengan menyusun atau menderet-deretkan data contoh berdasarkan koefisien ketidaksamaan. Variasi dalam unit-unit sampling (releve) yang diteliti dijadikan sebagai dasar untuk menggambarkan pola ordinasi. Berdasarkan model geometrik yang dihasilkan dari hasil analisis, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa titik yang saling berdekatan merupakan unit-unit sampling yang mempunyai kesamaan dalam pertumbuhan, sedangkan titik-titik yang saling berjauhan adalah unit-unit sampling yang mempunyai perbedaan pertumbuhan. Berdasarkan perbedaan tersebut hasil analisis ordinasi dapat dilanjutkan dengan mengkorelasikan pertumbuhan pada unit-unit sampling yang diteliti dengan faktor lingkungan dari unit-unit sampling tersebut, sehingga kita dapat mengetahui penyebab perbedaan pertumbuhan di antara unit-unit sampling tersebut


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2005, Kawasan Hutan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Barbaour, G.M, J.H. Burk and W.D. Pitts, 1980, Terrestrial Plant Ecology, The Benjamin/Cummings Publishing Company inc. Philippines.

Christopheros, 1993, Analisis Vegetasi Hutan Rawa Gambut di Hutan Tropika Humida PT. Bintang Cikupa Botani Riau. (Tesis Program Pasca Sarjana) Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Daniel, Th.W., J.A. Helms, F. S. Baker., 1992, Prinsip-Prinsip Silvikultur (Edisi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh : Dr. Ir. Djoko Marsono), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Greig-Smith, P., 1983, Quantitative Plant Ecology, Blackwell Scientific Publications, Oxford.

John, Kathy Mackinnon, 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kershaw, KA. 1964, Quantitative an Dynamic Plant Ecology. Second Edition Butter dan Tanner, London.

Ludwiq, J.A., and J. F. Reynolds, 1988, Statistical Ecoloqy a Primer on Methods and Computing, John Wiley & Sons, New York.

Marina, E. 2005, Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi dalam Rangka Pengembangan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung di Bagian Hutan Kalibodri KPH Kendal. (Tesis Sekolah Pasca Sarjana) Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Marsono, Dj dan Surachman, 1990. Perilaku Permudaan Alam Cendana di Wanagama I. Buletin. II. Instiper Volume.1. No.1. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.

Marsono, Dj 1991. Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.

Marsono, Dj. 1999, Visi dan Misi Konservasi Sumberdaya Alam di Indonesia, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, 1-13.

Mueller- Dombois, D., and H. Ellenberg, 1974, Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Wiley & Sons, New York.

Pudyatmoko, S, Dj. Marsono dan S. Hasanbahri, 1997. Pengelompokan Komunitas Hutan Musim Di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Buletin Penelitian Kehutanan No. 31/1997. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rosmarkam, A. dan N.W. Yuwono, 2002, Ilmu Kesuburan Tanah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Soetrisno, Kadar, 1998, Silvika, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.

Sutanto, Rachman, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Sutisna, U., T. Kalima, Purnadjaja, 1998, Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia, Yayasan PROSEA, Bogor.

Thojib, Atmodjo, 1991, Hutan Hujan Tropika, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah mada, Yogyakarta.

Toni, H. 2003. Studi Struktur dan Komposisi Vegetasi Bekas Tebangan Areal HPH PT. Sarmento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah, (Tesis Program Pasca Sarjana) Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East (Chapter Two Forest Structure) 1st Edition, Oxford University Press, Oxford

2 komentar:

Didik mengatakan...

Hello Admin yth.,

saya Didik dari Bogor. Article kamu bagus. Kalau mau lihat tumbuhan dan vegetasi di Pulau Jawa:
Java

Salam dari Bogor
Didik
Didik's Homepage

diyan yuska mengatakan...

Sy minta ijin pke artikelnya buat bkin laporan ya ms...li