Pendahuluan.
• Berdasarkan Permenhut Nomor P.30/Menhut-II/2005 dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3/2008 dinyatakan bahwa dalam satu unit pengelolaan hutan produksi baik dalam bentuk IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT dapat digunakan lebih dari satu sistem silvikultur (multi sistem silvikultur).
• Ketentuan ini didasarkan pada kenyataan bahwa pengelolaan hutan produksi pada saat ini belum optimal. Dalam pengelolaan hutan alam produksi menggunakan sistem silvikultur TPTI hanya terkonsentrasi pada areal yang masih potensial saja, sehingga areal-areal yang tidak potensial seperti hutan alam yang sudah rusak, belukar, alang-alang dan tanah kosong dibiarkan begitu saja. Demikian pula pada areal IUPHHK-HT, pada umumnya masih terdapat areal-areal hutan alam yang cukup produktif/potensial untuk dikelola dengan sisitem silvikultur TPTI tetapi harus ditebang habis untuk persiapan lahan. Dari aspek ekologis penebangan habis di hutan alam yang sudah menjadi issu internasional harus dihindarkan.
• Mengingat areal hutan yang rusak sudah sangat luas demikian pula perlu dilakukan upaya menjaga dan mempertahankan keberadaan hutan alam, sementara produktivitas dan luas hutan alam yang semakin menurun dan sulitnya mendapatkan areal khusus untuk pembangunan hutan tanaman, maka salah satu upaya yang mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah mengoptimalkan areal hutan khususnya yang berada dalam unit-unit IUPHHK dengan multisistem silvikultur. Dengan demikian, setiap bagian arael dapat dikelola sesuai tujuannya dalam satu bentuk ijin pemanfaatan.
• Secara teknis penerapan multi sistem silvikultur dalam satu unit IUPHHK sangat mungkin dilakukan, dan bahkan memang seharusnya demikian. Namun karena adanya hambatan peraturan maka pengelolaan hutan menjadi bersifat kaku.
• Dalam penerapan mulitisistem sebaiknya masing-masing sistem silvikultur dapat berdiri sebagai satu unit kelestarian walaupun dengan luasan areal yang minimal. Apabila demikian, maka pada tahap awal penerapan multisistem silvikultur perlu dilakukan pengklasifikasian kondisi areal dan mendeliniasi luasannya sesuai dengan sistem-sistem silvikultur yang akan digunakan.
• Berdasarkan data luasan IUPHHK-HA yang ada pada saat ini berkisar antara 15.000 ha – 300.000 ha, sedangkan luasan IUPHHK-HT berkisar antara 5.000 – 300.000 ha. Luasan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menetapkan luasan minimal dalam menerapkan multisistem di setiap IUPHHK.
• Penerapan multisistem silvikultur pada unit IUPHHK bukan permasalahan teknik silvikulturnya semata, karena teknik silvikultur dari setiap sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia sudah disusun dalam bentuk pedoman yang cukup jelas, sehingga IUPHHK hanya tinggal mengapliklasikannya saja. Namun demikian mengingat multisistem silvikultur masih merupakan hal baru dan sifatnya masih sangat umum, maka pengelola IUPHHK harus menguasai teknik-teknik silvikultur yang sudah ada dan mengembangkannya sesuai karakteristik setempat agar penerapan multisistem dapat meningkatkan produktivitas tegakan hutan yang dikelola.
Evaluasi Penerapan sistem-sistem silvikultur di Indonesia
• Sampai saat ini di Indonesia terdapat 4 sistem silvikultur yang berlaku, yaitu TPTI, THPB, THPA dan Sistem Pohon Induk. Spesifikasi penggunaan masing-masing sistem silvikultur adalah: TPTI dan THPA untuk mengelola hutan alam produksi; THPB untuk mengelola hutan tanaman dan sistem Pohon Induk untuk mengelola hutan mangrove.
• Dari Keempat sistem silvikultur tersebut di atas, hanya TPTI yang paling dinamis mengalami beberapa kali penyempurnaan dibandingkan dengan sistem silvikultur yang lainnya, hal ini mengingat permasalahan dan karakteristik hutan alam produksi yang sangat komplek. Sejak diberlakukan tahun 1972 sampai sekarang sistem silvikultur tebang pilih telah mengalami tiga kali penyempurnaan, yaitu tahun 1980, tahun 1989 dan tahun 1993. Sementara itu THPA sudah tidak digunakan di lapangan (hanya satu PT Inti Optima di NTB); Sistem Pohon Induk tidak banyak mengalami penyempurnaan. Sedangkan THPB sudah sangat terbuka untuk dikembangkan pada masing-masing kondisi lokasi dan jenis pohon yang diusahakan.
• Khusus dalam pengelolaan hutan alam produksi, pada awalnya ketika hutan alam masih dalam kondisi baik, penggunaan sistem silvikultur tebang pilih/TPTI merupakan pilihan yang paling tepat. Karena sistem ini dinilai paling ramah terhadap perubahan lingkungan dan masih dapat tetap menjaga dan mempertahankan kelestarian hutan. Namun ternyata harapan tersebut tidak dapat diwujudkan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kesalahan bukan pada sistem silvikulturnya semata, tetapi sebagian besar karena pengelola tidak konsekuan dan konsisten melaksanakannya. Akibatnya sebagian besar hutan alam produksi mengalami penurunan kualitas dan produktivitasnya (Balitbang, 1986; Wahjono, D, 2006). Penyebab lain menurunnya kualitas dan produktivitas hutan yaitu banyaknya perambahan, pencurian kayu, kebakaran dan tentu saja pengelolaan hutan yang tidak baik.
• Penurunan produktivitas tersebut ditandai dengan penurunan produksi hutan alam yang semula mencapai 30 jt m3 per tahun, saat ini hanya mencapai sekitar 10 juta m3 per tahun (Dirjen BPK, 2006). Dari luas hutan produksi saat ini sekitar 57 jt hektar, yang masih dalam kondisi baik tinggal sekitar 28 jt hektar, itupun umumnya lokasinya sudah terpencar dan sangat remote sehingga sulit untuk dijangkau dengan peralatan yang ada. Hutan alam yang sudah rusak mencapai sekitar 15,3 jt hektar (Sumarna et al, 2002) yang tersebar di setiap unit IUPHHK, baik IUPHHK yang masih aktif maupun IUPHHK yang sudah dicabut. Kemungkinan besar hutan yang rusak sudah semakin luas, namun data terbaru pada saat ini belum tersedia.
• Kondisi hutan alam yang terus merosot ini, memunculkan pemikiran baru untuk mencoba sistem silvikultur baru sebagai modifikasi sistem silvikultur TPTI. Pada tahun 1993 dicoba sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanjutnya diubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK). Prinsip dari sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur-jalur. Lebar jalur tanam dan lebar jalur konservasi atau jalur vegetasi alam alam bervariasi antara 25 – 100 m (Dirjen Pengusahaan Hutan, 1993).
• Hambatan yang ada dalam sistem ini adalah tidak mungkin membangun hutan tanaman (PP No.7/1990) dalam kawasan pengelolaan hutan alam (PP. No 21/1970). Kendala peraturan ini, akhirnya memunculkan kebijakan menggabungkan kedua PP tersebut agar dapat membangun hutan tanaman di dalam hutan alam. Bersamaan dengan ini maka sistem TJTI/TJTK diubah menjadi HTI-TTJ (Hutan Tanaman Industri- dengan Tebang Tanam Jalur) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.435/Kpts-II/1997. Untuk melaksanakannya digunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengusahaan Hutan dengan Keputusan No. 220/Kpts/IV-BPH/1997. Konsepnya hampir sama dengan TJTI, hanya saja jalur tanam dipersempit untuk satu larik tanaman selebar 3 meter berupa jalur bersih dan 10 meter untuk jalur bebas naungan. Jarak antar jalur tanam sekitar 25 meter berupa jalur vegetasi alam atau jalur antara. Sedangkan jarak tanam yang digunakan dalam jalur tanam adalah 5 meter sehingga dalam satu hektar ada sekitar 80 pohon pada akhir daur/rotasi.
• Harapan untuk dapat meningkatkan produktivitas hutan alam dengan ide-ide sistem silvikultur baru tersebut sebenarnya cukup menjanjikan. Namun demikian ternyata penggabungan PP tersebut tidak sempat dilakukan, dan akhirnya sistem silvikultur HTI-TTJ diubah menjadi Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan dengan Keputusan No. 55/Kpts/IV-BPH/1998. Sistem silvikultur TPTJ secara definitif digunakan kepada semua HPH khususnya HPH perpanjangan. Dalam penerapannya sebelum operasional penuh, perlu didahului dengan ujicoba sebagai tahap sosialisasi/pengenalan dan pelatihan. Selama dalam tahap/proses sosialisasi ini, dilakukan pembinaan dan evaluasi terhadap kemajuan pelaksanaannya.
• Hasill evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa TPTJ mempunyai prospek yang baik untuk dioperasioanalkan secara penuh. Hal ini di dasarkan pada hasil evaluasi tanaman pengkayaan yang mempunyai pertumbuhan yang sangat baik, sementara kondisi tegakan tinggal dan lingkungan dapat tetap terjaga, sehingga melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 309/Kpts-II/199 TPTJ dimasukkan dalam salah satu sistem silvikutur yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan alam produksi.
• Namun pada tahun 2002, terbit Keputusan Menteri Kehutanan No. 10172/Kpts-II/2002 untuk kembali pada sistem silvikultur TPTI bagi pengelolaan hutan alam. Sehingga TPTJ batal diberlakukan, kecuali dua HPH yang masih terus melaksanakannya yaitu PT Sari Bumi Kusuma dan PT Erna Juliawati, dan terus berlangsung sampai sekarang. Bahkan untuk PT Sari Bumi Kusuma sistem silvikultur TPTJ selanjutnya disebutkan dengan HTI-TPTJ.
• Hasil yang memuaskan dari TPTJ yang dilaksanakan oleh PT Sari Bumi Kusuma dan PT Erna Juliawati ternyata menginspirasi para pakar perguruan tinggi untuk menyempurnakan teknik silvikulturnya terutama dalam penggunaan bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian hama penyakit. Selanjutnya teknik silvikultur dalam TPTJ ini disebut dengan nama lain Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau Silvikultur Intensif (SILIN) berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005. Pada tahun 2005 Silin atau TPTJ atau HTI-TPTJ atau yang terakhir disebut TPTII diujicobakan pada 6 HPH terpilih, dan pada tahun 2007/08 dikembangkan pada 25 IUPHHK.
• Silin menurut penggagasnya adalah teknik silvikultur, namun dalam penerapannya lebih mengarah pada sistem silvikultur, sehingga masih menimbulkan pro dan kontra.
• Melihat sejarahnya, Silin adalah pengembangan TPTJ oleh karena itu silin lebih tepat disebut sebagai sistem silvikultur sehingga tidak membingungkan baik bagi pelaksana ataupun pihak-pihak lain yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lestari.
• Apabila Silin dipersamakan dengan TPTJ maka cara pemanenannya adalah tebang pilih dengan limit diameter, berlaku baik untuk jalur antara maupun pada jalur tanam. Sementara itu dikehendaki jalur tanam adalah aset yang akan ditebang habis pada akhir daur, maka untuk itu sebaiknya Silin ditetapkan sebagai sistem silvikultur baru dengan pola tebang habis di jalur tanam dan tebang pilih di jalur antara. Namun demikian menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 pengelolaan hutan alam produksi menggunakan TPTI, sehingga seharusnya TPTII/SILIN/TPTJ dikuatkan dengan keputusan menteri kehutanan.
• Berkaitan dengan Silin ini, pada saat ini sedang disusun pedoman Sistem Silvikultur Intensif (SYSILIN) sebagai acuan pelaksanaan di lapangan. Sistem ini dapat dipergunakan sebagai pilihan sistem silvikultur yang akan digunakan dalam multisistem silvikultur.
Prospek Penerapan Multisistem Silvikultur dalam Meningkatkan Produktivitas dan Pemantapan Hutan Produksi.
• Multisistem silvikultur adalah upaya optimalisasi pemanfaatan areal hutan, sehingga seluruh bagian areal hutan produksi baik yang berupa hutan alam yang masih potensial maupun hutan yang sudah rusak dapat dikelola sesuai dengan sistem silvikultur yang tepat.
• Pada hutan (alam) produksi yang masih potensial dapat diterapkan sistem silvikultur TPTI atau TPTJ atau Sysilin yang disesuaikan dengan keadaan topografi dan tingkat kelerengannya. Pada areal hutan produksi yang sudah rusak dapat diterapkan sistem silvikultur THPB dengan menggunakan jenis-jenis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan atau cepat tumbuh. Kombinasi beberapa sistem silvikultur ini akan mempunyai beberapa kelebihan antara lain:
a. Dengan TPTI, hutan alam akan menghasilkan berbagai jenis kayu yang mempunyai nilai yang kompetitif tinggi, dan sangat aman dari aspek ekologis. Produksi TPTI merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka panjang
b. Dengan TPTJ atau Sysilin, hutan alam akan menghasilkan kayu lebih produktif dan bernilai tinggi terutama dari hasil tanaman di jalur antara, dan cukup aman dari aspek ekologi. Produksi dari TPTJ/TPTII/Sysilin merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka menengah atau sedang.
c. Dengan THPB, hutan yang rusak dapat direhabilitasi dan ditingkatkan produktivitasnya. Produksi dari THPH merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka pendek.
d. Cashflow, dalam pengelolaan hutan menggunakan multisistem silvikultur akan lebih lancar sehingga akan lebih menjamin kelayakan usaha dalam bisnis kehutanan.
e. Dengan pengelolaan hutan yang optimal dan menyeluruh pada semua bagian hutan, maka jaminan keamanan kawasan hutan menjadi lebih mantap.
Pengaturan Kelestarian Hasil dan Produktivitas dalam Multisistem Silvikultur
• Pengaturan hasil pada dasarnya adalah suatu usaha untuk merencanakan besarnya produksi kayu secara tetap dan teratur setiap tahun. Upaya ini dapat dilakukan dengan baik apabila diketahui kondisi potensi tegakan secara menyeluruh dan besarnya riap tegakan yang diukur dari petak ukur
• Setiap sistem silvikultur yang diterapkan dalam multisistem silvikultur merupakan satu unit kelestarian tersendiri. Artinya bahwa dalam satu sistem silvikultur yang digunakan dilakukan pengaturan hasil berdasarkan luasan, potensi dan besarnya riap tegakannya.
• Model atau tatacara pengaturan hasil atau Jatah Produksi Tahunan (JPT) pada semua sistem silvikultur yang digunakan dalam multisistim digunakan pendekatan yang sama yaitu kombinasi antara etat luas dan etat volume, sehingga dapat diperoleh besarnya produksi yang tetap dan kontinu setiap tahun. Yang membedakan adalah perhitungan standing stock dan riap tegakannya.
• Model untuk TPTI adalah: JPT = Etat luas x (Vsr+(riap vol x ½ rotasi)) x ae
Model untuk TPTII/Silin: JPT = JPT Jalur HA + JPT Jalur HT
= ((Etat luas x (Vsr+(riap vol x ½ rotasi))xae))+
((etat luas x (riap x daur))
Model untuk THPB: JPT = etat luas x (riap x daur)
Dimana: JPT adalah jatah produksi tahunan; Vsr adalah potensi standing stock LOA saat ini; dan ae adalah angka ekploitasi.
- Produksi TPTI sekitar 30 m3/ha; produksi Sysilin/TPTJ sekitar 200 m3/ha (perkiraan moderat: jalur antara sekitar 30 m3/ha dan jalur tanam sekitar 170 m3/ha), dan produksi THPB sekitar 150 m3/ha.
- Total rata-rata produktivitas lahan per hektar (tanpa pembobotan luas areal masing-masing sistem silvikultur) menggunakan multisistem silviultur adalah:
(30 + 200 +150)/3 ≈ 127 m3/ha atau sekitar 4 kali dibandingkan dengan hanya satu sistem silvikultur TPTI.
Penutup
• Multisistem silvikultur adalah solusi yang paling tepat dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan alam produksi.
• Secara teknis pengetrapan system silvikultur yang akan digunakan dalam pengelolaan areal hutan alam produksi menggunakan multisistem silvikultur sudah tersedia sebagaimana sudah ditetapkan beberapa system silvikultur yang berlaku di Indonesia diantaranya adalah TPTI, Sysilin/TPTJ, THPA, dan THPB.
• Mengingat pedoman sistem-sistem silvikultur yang berlaku saat ini umumnya masih bersifat umum, maka pada masing-masing unit pengelola hutan produksi perlu dilakukan penelitian/pengembangan lebih mendalam agar sesuai dengan kondisi site spesifik areal hutan yang dikelolanya.
• Langkah tindak lanjut penting yang perlu segera diambil sehubungan dengan telah terbitnya peraturan tentang multisistem silvikultur ini adalah membuat juknis atas efektivitas peraturan multisistem silvikultur.
• Bagi IUPHHK yang baru, pengelolaannya diwajibkan menggunakan multisistem silvikultur, sedangkan untuk yang sudah berjalan segera menyusun RKUPHK yang berdasarkan multisistem silvikultur.
• Pemerintah perlu membuat kebijakan dalam bentuk reward and punishment dalam rangka Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
• Mekanisme pembinaan berjenjang pada tingkat pusat dan daerah perlu segera disusun sehingga harapan PHPL dapat diwujudkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Artikel yang menarik, sayang sulit dibaca
Posting Komentar